CARIOCA

Ananda Galih Katresna
Chapter #1

Simetri Kekacauan

Gudang itu berdiri di pinggiran kota Jakarta, tampak usang dari luar namun hidup di dalamnya. Cahaya remang dari lampu gantung berayun lambat, menari bersama asap rokok dan debu yang tak pernah benar-benar mengendap. Dinding-dindingnya bercat kelabu, penuh bekas peluru dan tulisan tangan yang disembunyikan waktu. Di tengah ruang, sebuah meja panjang dari besi tua menjadi pusat perhatian, dipenuhi peta kota, blueprint gedung, senjata yang dibongkar-pasang, dan tumpukan baju anti peluru.

Ada sepuluh orang di sana. Wajah-wajah keras, tubuh-tubuh yang disulam luka dan masa lalu. Mereka bukan sekadar pencuri; mereka adalah arsitek kekacauan, pelukis kekosongan yang diisi dengan adrenalin dan hitungan detik.

Dan di antara mereka, duduklah Kario, atau akrab di sapa Rio, lelaki berusia empat puluhan dengan kacamata bulat tipis yang selalu turun sedikit dari batang hidungnya. Rambutnya ikal, tak pernah rapi, seperti pikirannya yang tak pernah bisa ditebak. Dari kejauhan, ia lebih mirip pustakawan tua daripada pemimpin kelompok kriminal paling berani di Jakarta. Tapi di ruang ini, tak ada yang berani menyela ketika ia bicara. Rio adalah otak, jiwa, dan nadi dari semua yang bergerak.

Tangannya memutar peluru ke dalam pistol seperti merangkai puzzle terakhir dalam sebuah mahakarya. Wajahnya datar, tapi matanya sibuk menghitung semua kemungkinan yang bisa membunuh mereka malam ini.

"Senjata, pelindung, komunikasi, semua dicek dua kali," ujarnya pelan, tapi menggema seperti titah raja. Yang lain mengangguk, tak satu pun bertanya. Kepercayaan pada Rio bukan berdasarkan suara yang lantang, tapi karena setiap rencananya selalu terasa seperti tahu masa depan.

Seseorang memutar radio kecil, hanya untuk menambah suara agar tidak terlalu sunyi. Lagu lama dari God Bless mengalun lirih, membawa rasa nostalgia yang aneh di tengah persiapan maut. Di luar, matahari sudah menunduk. Cahaya senja menelusup lewat celah pintu besi, menandai pergantian waktu dengan keheningan yang menekan.

Beberapa anggota mulai memasukkan perlengkapan ke dalam tas. Satu orang mengisi majalah senapan dengan teliti. Yang lain merapikan jaket antipeluru sambil berbincang pelan, seolah hendak menghadapi ujian besar.

Rio berdiri dan menatap mereka satu per satu. Tak ada yang perlu dikatakan. Semua sudah hafal ritme kekacauan yang akan mereka tabuh bersama.

---

Dua mobil van meluncur di tengah kepadatan kota. Lampu-lampu gedung berkedip di kaca jendela, merekam bayangan-bayangan yang akan mengubah hari ini. Mereka bergerak seperti arus yang tak terlihat, menyelinap dalam denyut nadi Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur.

Di dalam mobil, suasana diam. Hanya suara AC tua yang menderu dan bunyi metalik dari gesekan senjata. Rio duduk di kursi depan, mata menatap lurus ke jalanan.

"Apapun yang saya katakan, ikuti saja."

Itu bukan permintaan. Itu kunci keselamatan. Tak ada yang menjawab. Tapi dari tatapan mereka, perintah itu sudah tertanam di benak masing-masing.

Lihat selengkapnya