Udara laut menusuk dingin di pagi hari, seolah ingin menelanjangi setiap luka dan rahasia para pria yang baru saja turun dari kapal besi tua itu. Rantai membelit pergelangan tangan dan kaki mereka, menyatukan nasib dalam satu barisan yang bergerak lambat menuju takdir yang entah akan seperti apa.
Di antara mereka, Rio. Wajahnya tetap tenang, matanya menyapu sekeliling pelan-pelan. Pulau ini tak memiliki nama di peta, hanya disebut sebagai “Zona 0” oleh sistem peradilan yang tak ingin terlalu banyak pertanyaan. Tak ada pelabuhan megah, tak ada sambutan resmi. Hanya tanah berbatu, menara-menara pengawas, dan aroma sepi yang membusuk.
Kapal telah berhenti sepenuhnya. Para napi satu per satu digiring menuruni tangga besi, rantai di kaki mereka berdenting seperti lonceng kematian. Mereka bukan sekadar tahanan biasa. Kebanyakan adalah pelaku kejahatan besar, perampok, pembunuh, pengkhianat organisasi. Semua yang pernah merusak keseimbangan masyarakat, kini disatukan dalam satu ruang sunyi dan brutal.
Sebuah bus tua dengan cat terkelupas berdiri tak jauh dari dermaga. Beberapa penjaga bersenjata mengawasi, wajah mereka kosong seperti sudah mati rasa sejak lama.
Rio melangkah perlahan, masih memperhatikan langit, tebing, dan siluet menara pengawas yang tegak seperti taring raksasa.
“Terus jalan!” bentak seorang petugas sambil mendorong tubuhnya dari belakang. Dingin logam senjata menyentuh punggungnya sebentar. Rio bergeming, lalu kembali melangkah tanpa suara.
Di dalam bus, para tahanan mengambil tempat duduk seperti siswa yang tahu mereka tak akan pernah lulus. Rio memilih duduk di dekat jendela, baris kedua dari depan. Di sampingnya, seorang pria besar bertato diam-diam mengamati. Tak ada kata. Hanya ketegangan tipis seperti kabel yang siap putus.
Bus mulai bergerak, rodanya melindas tanah keras yang penuh kerikil dan debu. Jendela-jendela berdebu tak bisa dibuka, tapi Rio tetap memandang keluar. Hamparan hutan dan pepohonan tua seperti berdiri sebagai pagar alami. Tidak ada rumah, tidak ada tanda kehidupan.
Hening.
Suara mesin tua dan rantai yang masih menggantung di kaki jadi irama utama perjalanan itu.
Lima belas menit kemudian, dari balik kabut yang belum sepenuhnya terangkat, tampaklah bangunan megah itu, penjara dengan tembok tinggi berwarna abu-abu tua, dihiasi kawat berduri dan pos pengawas di tiap sudut. Menara-menara tinggi mengintai ke segala arah, dengan lampu sorot dan senapan laras panjang.
Gerbang besi berdiri di depan mereka, seperti mulut monster yang menunggu untuk menelan segalanya.
Bus berhenti.
Beberapa penjaga mendekat, memeriksa bagian dalam dengan senter dan suara serak. Setelah merasa aman, mereka memberi isyarat.