Rio berdiri sejenak di ambang pintu sel nomor 27. Bau lembab dan besi tua menyeruak, udara di dalam sel lebih pengap daripada udara luar yang sudah menyiksa. Dua ranjang bertingkat berdiri berhadapan, masing-masing cukup sempit untuk membuat tubuh harus kaku bila ingin tidur nyenyak. Satu penghuni duduk di atas ranjang bawah, kaki menjuntai sambil menghisap napas seperti tak peduli dunia.
"Ranjang itu udah ada yang punya," ucapnya tanpa menoleh.
Rio melirik. Pria itu bertubuh tinggi, kurus seperti disaring dari amarah, tapi auranya tajam seperti pecahan botol yang tertanam dalam daging. Wajahnya tenang, nyaris datar, tapi di balik mata itu ada lorong gelap yang panjang. Orang ini bukan kriminal biasa.
"Lu tidur di atas situ aja. Masih kosong," lanjutnya, menunjuk ranjang atas di seberangnya. Suaranya datar, nada santai, tapi bukan santai biasa, ini nada orang yang sudah terlalu lama berada di garis paling depan perang hidup dan mati.
"Gua Hendrik," tambahnya, Rio tahu tahanan ini bandar narkoba yang memiliki jaringan besar di Asia Tenggara. Pasar gelap di Phnom Penh, Bangkok, dan Manila salah satu taman bermainnya.
Rio mengangguk pelan. "Saya Rio," katanya singkat sambil naik ke atas ranjang, mengamati langit-langit yang penuh goresan bekas waktu. Tidak satu pun kata tambahan ia lontarkan. Penghuni itu memicingkan mata, biasanya pendatang baru akan membantah, akan mengeluh atau bersikap sok keras. Tapi Rio tidak.
Rio tak perlu tahu lebih banyak. Ia sudah tahu. Rio mengenal Hendrik bahkan sebelum masuk penjara ini. Semua data tentang para tahanan berat di pulau ini telah ia baca, hafal, dan analisis. Ia tahu siapa melakukan apa, dengan siapa mereka berseteru, siapa mereka bunuh, dan siapa yang ingin mereka bunuh berikutnya.
Hanya Hendrik yang bisa melihat kepingan keanehan dalam sikap Rio. Hanya dia yang bisa menangkap aura berbeda dari pria berambut ikal dan berkacamata itu.
---
Malam pertama di penjara tak sunyi. Dua penghuni lain di sel itu kembali dari lapangan setelah jam aktivitas. Salah satunya berperawakan kekar dengan tatapan tak sabaran. Yang lain pendek, gesit, dan bicara terlalu cepat.
"Eh, ini siapa?" tanya si kekar.
"Anak baru," jawab Hendrik datar.
Mereka saling menatap. Rio tak berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil.
"Lu tau nggak aturan sel ini?" si pendek mulai nyerocos. "Yang baru, bantuin cuci baju, ambilin air, dan kalau mau makan lebih enak, bagi kita rokok lu."
Rio tetap duduk. Tenang. Seperti orang yang tahu kapan badai datang, dan sudah menyiapkan atap lebih dulu.
"Saya nggak ngerokok," jawab Rio pelan.
Si kekar berjalan mendekat ke arah tiang ranjang dan menamparnya keras hingga besi itu bergetar. “Anak baru gausah songong! Kalau mau bertahan lama, jangan sok pinter.”
Rio menatap dua orang itu bergantian.
"Saya tahu abang pernah punya masalah sama geng 'Ular Baja' gara-gara ngebunuh temennya di lapas lama. Makanya sekarang dipindah ke sini. Saya juga tahu biasanya nyimpen pisau di dalam sol sepatu kanan kan? tapi sekarang udah disita waktu razia dua minggu lalu."
Mata si kekar berubah. Rahangnya mengeras.
"Lu siapa, anjing?" desisnya.
"Saya dukun," balas Rio enteng. "Saya bisa tahu besok kamu bakal ribut sama orang blok selatan cuma karena sepatu kotor."
Mereka tertawa. Tapi Rio tak bergeming.
Rio menatap kearah si kekar "Oh iya, lu tau kan mantan istri lu sekarang jalan sama anak buah lu?"