CARIOCA

Ananda Galih Katresna
Chapter #4

Serigala Dari Utara

Sel nomor 27 malam itu tidak seperti biasanya. Lampu temaram menggantung redup di langit-langit, mengalirkan cahaya kuning pucat ke sudut-sudut lembab. Di bawah sinarnya, keempat penghuni sel itu duduk dalam formasi acak—di ranjang, di lantai, atau bersandar pada dinding tua yang sudah tak asing lagi dengan dengus napas manusia putus asa.

Hendrik bersandar santai, sebatang lintingan tembakau di sela jarinya, matanya menatap ke arah pria berambut ikal yang sedang mengukir garis kecil pada tembok samping ranjangnya dengan pecahan kerikil.

"Gua belum pernah liat lu sebelumnya," ucap Hendrik, suaranya pelan tapi penuh pengamatan, "tapi semenjak lu masuk sel ini, gua tau lu bukan orang sembarangan."

Goro, si pria kekar yang dulu sempat mengintimidasinya, menyipitkan mata, menambahkan dengan nada sarkastik yang tidak sekeras biasanya, "Heran, sekelas pimpinan Blok Utara bisa tertarik sama orang culun kaya gini. Sebenernya lu siapa, sih?"

Rio tidak menoleh. Tangannya terus menggoreskan kerikil itu membentuk satu garis lagi. Ia hanya menjawab singkat, seperti orang yang tahu jawaban sebenarnya belum saatnya diumumkan.

"Nanti juga kalian tahu."

Terdengar helaan napas ringan dari Acung, si pendek yang cerewet, yang malam itu tampak lebih kalem.

Goro lalu melirik Rio, lalu Acung, lalu Hendrik. Ia menggaruk kepala sambil mendengus.

"Bro… Gue minta maaf soal kemarin. Gua tau gua kasar, tapi ya… lu juga ngerti kan, tempat ini begini."

"Lu bener," sambung Acung. "Di sini cuma ada dua pilihan: makan atau dimakan. Kita bukan singa, bukan juga hiu. Tapi kadang, kalau kita bisa pura-pura keliatan punya taring, itu bisa nyelametin kita sehari lebih lama."

Rio mengangguk pelan, lalu menyandarkan diri ke tembok.

"Ngga masalah," katanya tenang. "Gue ngerti. Manusia berjuang sesuai caranya masing-masing. Gue juga bukan suci-suci amat."

Ada jeda sunyi, tapi bukan sunyi yang canggung. Lebih seperti sunyi yang menyisakan ruang untuk berpikir dan memahami.

"Gue penasaran," Rio akhirnya bicara lagi. "Di tempat kayak gini, tengah pulau, jauh dari daratan… kalian pernah dikunjungi kerabat?"

Acung terkekeh, nadanya kembali tengil, "Wah, ternyata lu gak sepintar itu, ya."

Hendrik menjawab sambil menatap ke lantai, "Bisa. Tapi prosesnya panjang. Harus izin dari pusat, dijagain ketat. Dan yang boleh datang cuma yang udah lolos pemeriksaan. Gak bisa sembarang orang."

Goro menyeringai pahit, "Siapa juga yang masih mau ngaku kerabat, kalau kita udah masuk ke tempat setan kayak gini?"

Jawaban itu menyisakan sepi. Tapi sejenak kemudian, suara Rio menyusul, datar tapi hangat.

"Kalau saya sudah keluar dari sini, kalian tetap teman saya."

Mereka bertiga menoleh menatap Rio. Hendrik tersenyum tipis. Goro menyeringai, dan Acung memukul pelan lutut Rio.

"Ha! Paling cepet juga dua puluh tahun lagi!" ucap Acung sambil tergelak.

"Bang Goro udah pake tongkat itu" ucap Acung sambil memperagakan orang tua yang kesulitan berjalan.

Tawa pun pecah dalam ruang yang biasanya hanya berisi dengus nafas dan mimpi buruk. Untuk sesaat, penjara tak terasa seperti penjara. Hanya empat manusia dengan cerita masing-masing, yang sedang melupakan bahwa dunia di luar sana sudah tak mengingat mereka.

Hendrik memandangi Rio cukup lama, senyum tipisnya tetap di bibir, tapi pikirannya menelusuri sesuatu yang lebih dalam.

"Lu aneh," katanya.

Lihat selengkapnya