Lampu terang menyorot wajahku. Aku tersilau walaupun mata terpejam. Sayup-sayup, kudengar suara tik ... tak ... tik ... tak. Aku tidak tahu apakah itu detak jam ataukah tetesan air. Kubuka mata yang segera liar diserbu cahaya. Aku bukan hanya diterangi, melainkan berada dalam terang membutakan. Aku berusaha menggapai kesadaran dan menemukan praduga bahwa cahaya itu adalah pusaran waktu yang bergerak seperti benang kusut. Aku mengecil, tumbuh, dan mengerdil kembali dalam pola waktu yang kacau di sebuah dunia monokrom. Hitam dan putih.
Sesaat, atau berpuluh tahun lalu, Mami menyuapiku dengan mata yang tidak pernah menatapku. Sekejap kemudian, atau ribuan hari setelahnya, orang-orang bertepuk tangan, mengerumuniku. Beberapa mencubiti pipiku, menarik tanganku, sementara suara-suara di belakang menyorakiku, “Cheesy Carmine! Gadis Keju!”
Sekarang, aku mengambang dalam cahaya. Membeku. Ringan sekaligus tenggelam. Hingga rasa sakit itu datang. Tubuhku melengkung karena menahannya. Hanya saja, ini jenis sakit yang terasa jauh. Aku tidak tahu di mana letak sakitnya, tetapi aku tahu bahwa aku kesakitan. Aku merasa telanjang dan menggigil. Seperti berada di atas dipan dingin.
Entah kapan dan bagaimana caranya, aku sudah berada di meja operasi.
Geming.
Aku tak bisa mengangkat tangan dan kakiku. Namun, aku bisa mengangkat kepalaku. Aku bisa melihat perutku. Seseorang meletakkan ritsleting dari bahan platinum yang sangat kuat.
Sret … sret ….
Suara itu membunuh kesunyian. Suara pelan nan mengganggu. Seperti saat seseorang makan dengan mengecap keras, pintu berderit, atau angin bersiut. Suara itu berasal dari ritsleting yang sedang dibuka. Aku menelan ludah. Seseorang membukanya dari dalam perutku.
Buka tutup.
Buka tutup.