SEMARANG, 1 JANUARI 2018
04.03 WIB
Bilah melewatkan malam tahun baru dengan bekerja. Dia tidak punya pacar dan tidak ada seorang pun menunggunya di rumah kecuali seekor kucing gemuk pemalas. Bahkan, dia tidak menyadari bahwa tahun telah berganti. Lagi pula, malam pergantian tahun rasanya selalu sama: getir di antara euforia, sepi di antara keramaian. Bedanya hanya satu: dia mendengar suara kembang api lebih banyak daripada hari-hari biasa.
Jari telunjuknya menekan kening yang terasa sakit. Obat sakit kepala itu belum bereaksi atau barangkali sudah tidak mempan lagi untuknya. Sebenarnya, dia hanya butuh tidur untuk menyingkirkan sakit kepala sialan itu. Pada akhirnya, dia tetap menelan obat sialan tersebut.
Bangsat, 30 jam yang melelahkan, pikirnya.
Hidup Bilah selalu tentang perburuan, satu-satunya hal yang dia kuasai. Waktu kecil, dia bisa menangkap ayam lebih banyak daripada ibunya di peternakan ayam milik kakeknya. Saat layang-layang putus, dia mampu mendapatkannya walaupun tersangkut di tempat sulit. Teman-temannya selalu menyuruhnya mencari belut di sawah sebab dia pasti menemukannya. Ibunya pernah berkata, “Kamu punya mata tajam, tangan gesit, dan kaki yang panjang. Kuharap kamu juga memiliki hati lembut agar ketiganya bisa menjadi mata panah yang tak pernah salah.”
Bilah baru selesai melakukan pengintaian panjang sebelum akhirnya berhasil menangkap bedebah pembunuh itu. Tiga hari lalu, bedebah itu menghabisi satu keluarga demi ponsel canggih yang telah lama diimpikannya. Bedebah itu bahkan belum genap berusia 17 tahun. Kau tidak membutuhkan alasan besar dan sempurna untuk membunuh orang, kau hanya butuh satu kesempatan. Jadi, jangan kaget jika bedebah ini sanggup membunuh dengan keji hanya untuk motif sepele. Bilah yakin bedebah itu pasti lolos tes kejiwaan. Orang sewaras apa pun akan gelap mata jika membiarkan nafsu menguasainya. Waras dan gila tak ada bedanya saat kau memutuskan memegang pisau dan menggunakannya untuk menyakiti orang lain.
Setelah perburuan itu, dia ingin tidur lalu menelepon mantan pacarnya, mengajaknya kencan agar dia bisa memulai lagi dari awal. Bilah sangat menyukai perempuan itu walau temperamen mereka berdua seperti api dengan api. Saat Bilah tak sengaja tersulut, perempuan itu akan menyulut lebih besar. Begitu terus sampai mereka jadi arang hanya untuk jeda menyulut api baru. Mereka sudah sering berkata putus, tetapi pada akhirnya mereka rujuk kembali dan justru semakin mesra.
Bara selalu ada di dalam cinta. Mesra, bertengkar, putus, menyesal, rujuk, mesra kembali. Ini semacam sirkulasi cinta ala Bilah dan perempuan itu. Kedengarannya memang konyol, tetapi mereka terjebak di dalamnya. Bahkan, keduanya nyaman dalam ketidakpastian. Hubungan mereka sebenarnya jalan di tempat walaupun di permukaan terlihat banyak gelombangnya.
Saat dia masih menimbang-nimbang rencana untuk menelepon perempuan itu, dia mendapat telepon dari anggotanya yang memintanya datang ke perumahan elite Grand Red Stone di daerah Gunung Pati. Tempatnya searah dengan rumahnya yang terletak di Perumahan Trangkil. Bilah tahu itu perumahan superelite. Seorang polisi berpangkat ajun inspektur polisi satu sepertinya tidak akan mampu membeli rumah di sana. Kebanyakan para pengusaha kaya yang ingin menyepi atau membutuhkan privasilah yang rela merogoh kocek miliaran untuk tinggal di kompleks itu. Tempatnya terpencil, dekat lapangan golf yang diselingi hutan-hutan kecil dan sungai. Akses jalan di perumahan itu semakin membaik setelah jembatan besi di belakang perumahan tersebut dibangun permanen.