YOGYAKARTA, 1 MEI 2016
“Harganya dua puluh lima ribu,” kata pelayan stan aksesori. “Ini best seller. Tren saat ini kembali ke bahan-bahan alam.”
Bros itu terbuat dari tempurung batok kelapa yang dibentuk seperti mawar. Kurasa bros itu akan cocok dipasang pada karya tas rajutan yang sedang kubuat. Aku menimangnya, lalu memperhatikan bagian penitinya. Jariku menekan jarum. Pelayan itu mengamatiku dengan bingung. Aku tersenyum kepadanya sambil menjauhkan jari. Senyum pelayan itu terlihat canggung seakan aku baru mengurungkan niat menebas leherku dengan pisau.
Aku ingat Ibu pernah berkata kepadaku, “Kamu bisa menyakiti tubuhmu tanpa merasa sakit, kamu hanya perlu mengenali tubuhmu.”
Ibu mengambil sebuah peniti dan mengacungkannya di hadapanku. “Apa yang kamu tahu tentang peniti?” tanyanya.
Aku yang saat itu masih berumur enam tahun menjawab pendek, “Tajam.”
Ibuku tersenyum, kemudian parasnya berubah dingin. Dia mengacungkan telunjuknya, lalu menusukkan peniti itu. Aku menganga. Ibu hanya tertawa kecil, lalu membalik jari hingga peniti itu berada di bawah. Aku menyentuh peniti yang menempel di jarinya.
“Sakit?”
Ibu menggeleng. “Seperti yang tadi Ibu bilang, kamu harus mengenali tubuhmu.”
Aku akan selalu mengingat perkataan ibuku itu. Setiap kali dia memukuli dan mengunciku di ruang “anak baik”, aku akan mengambil peniti yang kusembunyikan di ceruk dinding. Awalnya, aku menusuk jariku terlalu dalam hingga berdarah. Namun, setelah beberapa kali percobaan, aku berhasil menusuk hanya kulit arinya saja. Tepat seperti kata ibuku. Aku harus mengenali tubuhku.
Aku menganggap rasa sakit sama seperti hantu. Rasa sakit itu tidak nyata. Bilur-bilur ini hanyalah hiasan di kulitku. Sejak berpikir seperti itu, aku tidak lagi menangis saat ibuku memukulku. Ibu melakukannya karena dia marah kepada Ayah. Dia tidak marah kepadaku. Ibu tidak bisa memukul Ayah, jadi aku yang menjadi pelampiasan. Semakin lama, aku tidak hanya menyembunyikan peniti, tetapi juga membawa jarum dan benang ke dalam ruang anak baik. Aku menjahit punggung tanganku dengan tiga jahitan tanpa merasa sakit. Benang berwarna merah kelihatan di lapisan kulit ari. Aku belum puas hingga aku membawa kancing. Aku pun menjahitkan kancing pada kulitku. Sangat indah. Aku merasa tenang saat melihatnya dan melupakan semua rasa sakitku sampai aku tertidur, menunggu Ibu kembali untuk membukakan pintu ruang anak baik.
Aku bisa tersenyum saat orang-orang berkata betapa beruntungnya diriku memiliki ibu sepertinya. Orang-orang melihat ibuku sebagai perempuan kuat, sukses, dan hangat kepada siapa saja. Mereka tidak tahu bahwa Ibu temperamental. Saat Ayah menyinggung perasaannya, akulah yang menjadi sasaran kemarahannya, semata-mata karena aku masih kecil dan tidak bisa melawan.
Aku percaya semua orang dewasa memiliki roh naga di dalam tubuh mereka, mengendus dan menyembur dengan kapasitas yang berbeda. Ibuku juga memilikinya. Roh naga bersisik merah yang akan berubah hitam saat dia menyemburkan kemarahan kepadaku. Saat dewasa, aku juga memiliki roh naga. Semakin besar dan ganas, kusembunyikan dalam kesepianku. Sudah berulang kali aku mencoba membunuhnya, tetapi ia menolak mati.
“Saya ambil yang ini.” Aku mengangguk ke arah pelayan stan aksesori.