Cahaya mentari pagi perlahan menyebar ke seantero langit, menyumbangkan kemilau cerah dan aroma kehidupan bagi bumi. Langkah-langkah kaki manusia berderap-derap di atas lantai planet satu-satunya berpenghuni ini. Pagi ini, meski jarum jam baru menunjukkan pukul : 06.30 namun ribuan insan di kota megapolitan sudah memadati setiap sudut lokasi. Mulai dari pasar tradisional, mal, pinggir jalan yang dipenuhi teriakan kenek angkutan umum, jalan raya yang tampak padat oleh pemakai jalan, jalan bebas hambatan atau tol, hingga tempat-tempat kumuh nan memprihatinkan bagi para tunawisma dan gelandangan.
Namun, kisah ini sama sekali tidak menceritakan tentang orang-orang di lokasi yang disebutkan tadi. Coba ikuti sorotan mentari beberapa langkah lagi. Lihatlah, sorotannya berhenti di satu titik. Titik itu adalah sebuah bangunan megah berarsitektur Eropa dengan pagar menjulang tinggi. Bangunan yang memuat ratusan pemuda sekaligus pemudinya. Bangunan itu dikenal dengan Carsiva School. Sebuah sekolah swasta terfavorit dan digandrungi di kota ini.
Sorotan mentari kini menerobos pagar bangunan dan menelisik sampai ke bagian dalamnya. Tampaklah para pemuda pemudi berlalu lalang dengan pakaian khasnya yang berwarna merah marun dan bercorak batik. Ada yang memperbaharui majalah dinding, ada yang duduk di kursi taman sembari berdiskusi, ada pula yang girang bercanda sesama rekannya. Sejauh ini tidak ada yang bisa menghentikan kegiatan pagi mereka. Tetapi tak berapa lama lagi mereka akan segera menghentikannya sebab derap langkah empat pemuda tersohor di sekolah ini mulai terdengar. Derap langkah yang entah mengapa bagi mereka sangat berbeda dengan derap langkah manusia lainnya.
“Ssstt..., The Four Wolves datang!” seru salah seorang pemuda berkaca mata dengan rambut sedikit acak-acakan akibat tadi berjingkrak-jingkrak, bercanda sembari saling mengacak-acak rambut dengan dua rekan di sampingnya.
Ucapan yang lebih mirip disebut peringatan itu cukup berhasil membuat dua rekan di sampingnya dengan rambut yang sama-sama terlihat acak-acakkan mendadak mematung, memilih diam di tempat. Begitu pula dengan mereka yang secara tidak sengaja mendengar peringatan pemuda berkaca mata. Suasana hening, kegiatan terhenti, menanti langkah kaki keempat pemuda tersohor itu melewati lorong tempat mereka melakukan berbagai kegiatan.
Keempat pemuda itu semakin dekat dan tinggal hitungan detik akan segera sampai ke tempat mereka. Benar saja! Langkah kaki gontai yang ditakuti itu kini menapaki lorong. Dua orang dari keempat pemuda itu terbiasa berjalan dengan memasukkan kedua tangannya ke kantung celana. Satu lagi biasa membawa rotan kecil berukuran 70 cm dan diberi gelar Si Tongkat Rotan. Satu member lagi, dia hanya berjalan normal seperti manusia kebanyakan, jika kaki kanan melangkah maka tangan kiri mengayun begitu pula sebaliknya namun dia sering terlihat meletakkan jaket di pundak lebarnya.
Napas ketegangan terasa. Orang-orang berdiri kaku seolah berharap keempat pemuda itu berlalu secepatnya. Selang beberapa detik kemudian, keempat pemuda yang dijuluki The Four Wolves itu melewati mereka tanpa berhenti, mereka menghela napas lega. Berarti tidak ada masalah. Mereka mulai melanjutkan kegiatan yang tertunda. Keceriaan kembali tergambar di wajah masing-masing. Namun sayangnya, keceriaan hadir hanya sesaat saja, semua kembali kepada ketegangan dan tekanan ketika salah satu dari The Four Wolves menodongkan tongkat rotannya ke arah pemuda berkaca mata.