Carsiva School's Moments

Annurul Hasan
Chapter #2

The Four Wolves

Carsiva School memang sekolah terfavorit. Selain kualitas dan akreditasi yang dinilai sangat baik, sekolah ini pun memiliki fasilitas terlengkap. Mulai dari laboratorium bahasa, komputer dan sains. Gedung olahraga, kolam renang dan ruang rekaman sekaligus musik menjadi daya tarik tersendiri bagi para siswa yang berkeinginan mengembangkan potensinya.

Satu hal lagi yang menarik adalah kantinnya. Ruang makan sekolah itu dibangun serupa restoran. Tidak tanggung-tanggung! Makanan dan minuman di kantin ini merupakan hasil olahan tangan salah satu koki profesional. Tidak mengherankan jika menu makanan dan minumannya begitu beragam namun tidak melupakan nilai gizi yang terkandung di dalamnya.

Hari ini, tahun ajaran baru. Tampaklah serakan siswa memenuhi kantin. Canda dan gelak tawa terdengar menggaung ke atas langit-langit kantin namun entah mengapa mendadak semua membisu beku ketika empat siswa melangkah masuk dan duduk di salah satu deretan kursi dan meja kosong.

Dua orang siswi yang duduk berbatasan langsung dengan dinding tampak sesekali melirik keempat orang penyebab kebisuan. Salah satu dari mereka terbiasa mengepang dua rambutnya, ada tahi lalat cukup besar di pipi kirinya. Satu lagi berambut lurus sepundak dengan poni yang nyaris menutup matanya. Dia menyeringai, menatap teman satu mejanya.

“Kak Iyah! Kenapa sih Kakak nyuruh diam kalau ada empat orang itu?” ucapnya lirih.

“Agustin..., mu itu masih murid baru di sini! Besok-besok juga bakalan tahu!” jawab sosok yang dipanggil Kak Iyah. Agustin, siswi berambut lurus sepundak dan berponi tampak tidak puas dengan jawaban itu. Dia masih penasaran.

“Ayolah Kak..., please..., kasih tahu dong!"

Sosok Iyah bergeming, hanya mengendikkan bahu, tak peduli. Dia meneruskan menyeruput teh hangatnya. Agustin menghela napas, sebal.

Okelah! Kalau gitu sekarang aku teriak-teriak aja buat keributan! Emang apa sih pengaruhnya empat orang itu?!” ujarnya sedikit mengancam. Dia bergegas bangkit dari duduknya namun Iyah segera menarik lengannya. Dia tampak rusuh dan ketakutan.

Oke, oke! Aku jelasin!” ujarnya. Sepertinya dia memang harus mengalah daripada membiarkan Agustin membuat sesuatu hal yang menyebabkan mereka berdua beberurusan dengan empat orang itu. Dia menghela napas, ada rasa malas dan berat di bathinnya untuk membahas keempat kawanan itu. Dia menyeruput tehnya sekali lagi dan menatap wajah Agustin. Kedua mata Agustin menyiratkan keingintahuan dan itu cukup untuk mengusir rasa malas dan berat dalam diri Iyah.

“Mereka berempat itu dijuluki The Four Wolves!”  Iyah memulai cerita.

The Four Wolves?! Wow! Empat serigala maksudnya?!” Agustin sedikit berteriak.

“Huss!” Iyah menempelkan telunjuknya di bibir. Agustin reflek menutup mulutnya. Mereka berdua melirik The Four Wolves, takut-takut keempat kawanan itu mengetahui apa yang tengah mereka bahas. Keduanya menghela napas lega ketika tidak ada hal yang mesti dikhawatirkan. Keempat kawanan itu terlihat begitu menikmati kudapan dan menu yang mereka pesan. Aura keangkuhan terasa di sekitarnya.

“Huft! Hampir saja!” ucap Iyah. Agustin semakin penasaran melihat tingkah Iyah yang dia nilai terlalu berlebihan.

“Lanjut Kak! Lanjut!” ujarnya. Iyah mengangguk.

“Coba lihat lelaki berambut kecoklatan, matanya juga coklat. Namanya Aldo. Tinggi badannya sekitar 175 cm. Dia jago melukis. Lukisannya pernah diikutsertakan dalam pameran nasional tahun lalu dan rencananya kepala sekolah merekomendasikan lukisannya untuk ikut pameran internasional di New York. Tidak hanya melukis, dia juga jago ilmu bela diri. Mengusik The Four Wolves, berarti mengusik serigala sangar dan kejam, Aldo, yang lebih sialan lagi! Dia juga termasuk siswa pintar! Setiap semester selalu menyabet juara umum IV.”

Mendengar penjelasan itu, Agustin berdecak kagum. Dia berkali-kali membenahi poninya dan bergumam, “Awesome!”

“Selanjutnya, lelaki yang duduk persis di samping kanan Aldo, namanya Henry. Tinggi badannya sekitar 177 cm. Dia ahli teknik informatika dan baru-baru ini memenangkan olimpiade komputer nasional. Tidak hanya itu, dia juga hacker ulung. Kalau mu bermasalah dengannya, dia bisa langsung membajak sosial media yang mu punya. Reputasimu bisa langsung hancur dibuatnya."

Agustin melirik sesosok lelaki yang disebutkan Iyah. Rambut hitam lurus dengan kedua alis yang nyaris menyatu. Tak pelak lagi, hatinya pun nyaris meleleh saat melihatnya, untung saja Iyah memukul kecil kepalanya. Agustin ber “aduh” pelan.

“Kalau kelamaan gitu bukan ngelirik lagi namanya!” Iyah menajamkan tatapan matanya seiring menarik kembali sendok yang dia gunakan untuk memukul kepala Agustin.

“Huft! Aku hampir-hampiran melting Kak! Pukulan Kakak nyadarin aku...” Agustin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sembari memamerkan giginya.

“Dia juga termasuk siswa pintar! Setiap semester selalu menyabet juara umum III.” Iyah menambahkan.

Agustin terperangah dan bergumam, “Are you sure?”

Iyah mengangguk meyakinkan. Agustin sebagai siswi baru benar-benar tak mengira akan menemui genk mengagumkan dan sekaligus memiliki aura keangkuhan seperti itu di sekolah barunya. 

“The third boy! Lelaki berambut ikal dan memiliki tubuh paling tinggi sekitar 179 cm. Namanya Daniel. Dia jago olahraga. Kalau mu nantangin dia olahraga apa pun, hasilnya sama! Dia menang telak! Terutama renang, jago banget! Tapi dia belum pernah mengikuti lomba tingkat provinsi atau nasional, dengan kata lain, bakat olahraganya hanya terkenal di sekolah belum diakui secara luas.”

“Wah..., sayang sekali Kak!” ucap Agustin.

“Yup! Tapi menurut penelitian kami selama ini, Daniel bukanlah orang yang ambisius untuk mengikuti momen perlombaan olahraga.”

“Penelitian? Jadi, Kakak meneliti mereka?”

“Tidak cuma Kakak, ada beberapa siswa lainnya yang tergabung dalam Haters of The Four Wolves. Kami biasa menyingkatnya dengan Hotfow.”  Ucap Iyah menjelaskan.

“Ja...jadi..., Kakak termasuk salah satu anggota Hotfow?”

Iyah mengangguk. Dia menyeruput teh panasnya yang kini tinggal seperempat. Dia menatap mata Agustin yang kini terlihat bimbang.

“Kenapa? Mu jatuh cinta pada kawanan itu?”

Agustin terdiam. Iyah tersenyum simpul.

Lihat selengkapnya