Ruangan itu bekas gudang sekolah, hanya berukuran enam kali empat meter. Dahulu cat dindingnya luntur, beberapa noda hitam kecoklatan dan coretan mengganggu penglihatan. Namun beberapa siswa memiliki inisiatif untuk menjadikan ruangan lusuh itu sebagai markas. Markas para perindu kemerdekaan. Mereka ingin bebas dan memiliki hak yang sama dengan para penjajah.
Mereka mengumpulkan anggota secara sembunyi-sembunyi. Terkumpullah dua puluh anggota yang keseluruhannya adalah siswa kelas sepuluh. Setelah memiliki anggota yang cukup banyak pada saat pertama kali pembentukan, mereka mulai memilih ketua dan menentukan nama organisasi mereka. Rapat dimulai dan dua kesepakatan pun terbentuk. Kesepakatan pertama, seorang siswa berkacamata dan berperawakan kurus, Vicky, terpilih menjadi ketua. Kesepakatan kedua, organisasi baru itu dinamai Haters of The Four Wolves atau disingkat Hotfow.
Setelah kesepakatan, ruangan itu mulai dibersihkan dan direnovasi, lebih tepatnya dicat kembali. Dindingnya diwarnai setengah merah dan putih, persis seperti bendera Indonesia. Filosofi warnanya adalah sama seperti sederet kalimat dalam Undang-undang Dasar 1945. Kalimat "Kemerdekaan adalah hak" tampak tertulis dengan pilok putih di salah satu sisi dinding yang telah dicat merah dan kalimat "segala bangsa" tertulis dengan pilok merah di sisi dinding yang sama namun di bagian dinding yang bercat putih. Jika dibaca dengan sempurna, maka tulisan di salah satu sisi dinding itu berbunyi "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa." Meskipun begitu, pembentukkan Hotfow masih rahasia, tidak ada yang mengetahuinya termasuk para guru. Penempatan markas pun sengaja dipilih di ruangan yang menjorok ke ujung gedung belakang sekolah, jarang sekali siswa atau guru yang melewatinya bahkan tukang potong rumput pun sering ketinggalan memotong rerumputan di sekitar situ. Misi Hotfow sudah jelas seperti namanya, yakni untuk menghancurkan tirani The Four Wolves yang akhir-akhir ini semakin menjadi.
***
Iyah dan Agustin berjalan menapaki keramik lorong sekolah. Agustin tampak manggut-manggut.
“Oh..., begitu ya Kak? Kira-kira sudah berapa lama Hotfow terbentuk?” tanya Agustin. Iyah memandangi adik kelasnya itu, lagi-lagi wajah keingintahuan Agustin memaksanya untuk menjelaskan, tidak ada yang ditutup-tutupi.
“Baru seumur jagung, kira-kira tiga bulan yang lalu sewaktu kami semua akan mengikuti ujian kenaikan kelas. Itu berarti ketika kami menginjak kelas sepuluh semester dua.”
“Oh..., begitu! Jadi belum ada siswa baru yang mendaftar menjadi anggota Hotfow?”
“Untuk merekrut anggota baru itu gak mudah! Soalnya kami mesti sembunyi-sembunyi ngelakuinnya...” Iyah menghela napas dan meneruskan,
“..., anggota Hotfow sekarang sedang meneliti dan mencari kelemahan kawanan serigala itu secara diam-diam.” Ucap Iyah.
“Untuk menghancurkan mereka?”
“Ya, Agustin! Kami benar-benar capek ditindas terus-terusan. Semut aja bakalan gigit kalau diinjak, kan?” ujar Iyah. Agustin mengangguk-angguk setuju.
“Berdasarkan cerita Kakak tadi, ternyata mereka kawanan yang kejam. Huft! Paling nggak sekarang aku udah tahu penyebab orang-orang sekeren mereka dibenci.” Ujar Agustin. Iyah tersenyum simpul.
“Contoh kecil yang mu lihat di kantin tadi belum seberapa, masih banyak yang lebih dari itu. Besok-besok juga tahu!”
Baru saja Iyah mengatakan kalimat itu, handphonenya bergetar serta merta dia merogoh saku roknya. Panggilan dari Vicky, ketua Hotfow. Langsung diangkat.
“Ya Vick? Apa? Serius mu? Oke aku ke sana!” ucap Iyah, dia memasukkan kembali handphonenya.
“Agustin, aku ke markas dulu ya! Ada kasus nih! Jangan lupa mu pikir-pikir tentang tawaran aku buat masuk anggota Hotfow! Oke?” Iyah tampak terburu-buru meski sempat memegang pundak Agustin. Agustin mengangguk dan berucap “Sip!”
“Oke, bye!” Iyah melangkah berbalik arah meninggalkan Agustin.
Agustin memandangi punggung kakak kelasnya. Ini kali kedua baginya menjadi adik kelas Iyah. Dahulu mereka berdua sekolah di SMP yang sama dan sekarang saat menginjak bangku SMA mereka dipertemukan kembali di sekolah yang sama. Mungkin takdir, atau orangtua mereka sama-sama memiliki prinsip untuk menyekolahkan anaknya di sekolah favorit ini. Apa pun itu, pastinya tidak mengherankan jika keduanya begitu akrab meski beda tingkatan kelas. Agustin membalikkan tubuhnya, punggung kakak kelasnya sudah tak terlihat. Dia melangkah ke arah berlawanan dengan Iyah. Satu dua langkah kakinya, dia teringat ucapan kakak kelasnya itu beberapa menit yang lalu, sebelum menjelaskan tentang Hotfow secara gamblang.
“Agustin! Kami anggota Hotfow sebenarnya adalah orang-orang nekat. Kami bukan orang yang benar-benar berani tapi memberani-beranikan diri. Kami juga kekurangan anggota yang ahli. Dan setahuku, mu ahli komputer kan? Ya, mungkin nggak seahli Henry salah satu member The Four Wolves itu, tapi setidaknya keahlian mu bisa ngebantu kami buat cari informasi atau ngutak-atik program komputer. Aku yakin, Hotfow ngebutuhin mu!”
Agustin terus melangkahkan kakinya. Tiba-tiba baru terpikir di benaknya, masih ada informasi yang belum dia ketahui dan terasa menggantung. Dia lupa menanyakannya pada Iyah. Dia menghela napas, menghentak-hentakkan kakinya, merasa bodoh dan menyesal akan kealpaan dirinya.