Tanganku mencengkeram selimut dengan erat di dada. Mataku bergulir, mencari kamera tersembunyi. Dengan jantung berdegup kencang, aku menunggu seseorang mendobrak masuk ke kamar dan bilang kalau ini hanya candaan. Namun, sekian menit berlalu, tak ada yang masuk. Aku juga tak menemukan kamera. Otakku menyangkal bahwa ini serius.
Tidak, tidak mungkin benar-benar terjadi. Ini pasti prank dari orang-orang TV, atau youtuber-youtuber yang suka tak pakai otak saat membuat konten.
Tunggu. Tunggu. Mungkin ini memang bukan prank, tetapi aku sedang berhalusinasi. Atau malah masih bermimpi. Jadi, kupejamkan lagi mataku, berharap bahwa saat membukanya nanti, aku benar-benar terjaga. Kuembuskan napas perlahan. Kuatur jantung yang berdegup-degup kencang. Kutenangkan mentalku yang mulai berkecamuk. Setelah semua tenang aku membuka mata lagi, pelan-pelan.
Plafon berwarna putih tampak mendominasi penglihatanku. Kurasa aku tidak berpindah tempat. Aku masih berada di kamar hotel yang semalam kusewa. Namun, harapanku belumlah pupus. Walau masih di tempat yang sama seperti sebelumnya, mungkin saja pemandangan di sampingku berubah.
Perlahan, aku menoleh ke samping. Tubuhku yang terbaring terlentang di atas ranjang terasa kaku.
Tidak apa-apa, batinku menyangkal. Mimpi buruk tadi sudah berakhir.
Namun rupanya itu bukan mimpi. Mayat itu masih bergeming di sampingku. Darahnya yang sudah mengering membasahi sprei di bawahnya. Darah juga membasahi punggung dan tengkuknya yang terbuka. Dia mati dalam posisi tengkurap, dengan kepala menghadapku. Matanya yang kosong menatapku, mulutnya terbuka. Cairan lengket keluar dari sana. Rambutnya yang pendek acak-acakan. Tak diragukan lagi dia adalah seorang laki-laki. Usianya aku taksir sekitar 35-an. Saat masih hidup, dia merupakan seorang yang tampan. Tampak dari kulitnya yang bersih dan hidungnya yang mancung. Yah, sebelas-duabelas denganku saat aku masih seusianya.
Yang jadi pertanyaanku adalah bagaimana lelaki itu bisa mati di kamarku? Dibunuh pula? Ya, tentu dia dibunuh. Dilihat dari banyaknya darah dan luka, tidak mungkin dia bunuh diri. Seseorang pastilah menusuknya dari belakang, tetapi siapa? Tidak mungkin aku, kan? Kenal saja tidak. Iya, demi Neptunus, aku nggak kenal.
Bagaimana pula dia bisa satu ranjang denganku? Mana telanjang lagi! Kalau aku perempuan, tentu pertanyaan itu tak menjadi soal. Namun nyatanya, aku seorang lelaki dan sumpah, seratus persen aku yakin aku normal. Aku masih menyukai perempuan dan tidak berminat pada laki-laki. Sedikit pun tidak.
Sebagai bukti, aku sudah berkeluarga. Aku mempunyai istri. Perempuan, tentu saja. Aku juga memiliki anak dan anakku sudah besar, sudah SMA. Lihat, kan? Aku normal!
Namun, tetap saja aku tak mengerti kenapa ada mayat di sampingku. Sungguh, ini merupakan hal yang paling tidak masuk akal yang pernah kualami seumur hidup.
Akan tetapi, sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu. Aku harus ... apa? Apa yang seharusnya aku lakukan? Ya Tuhan, aku bingung sekali. Kepalaku rasanya mau pecah. Mungkin aku harus segera menelepon polisi.
Dengan kaku kuturunkan kaki dari ranjang. Aku bergerak pelan supaya ranjang tidak berderit. Aku takut membangunkan mayat itu. Sedetik kemudian aku sadar bahwa tindakanku konyol. Tidak mungkin mayat bisa bangun hanya karena mendengar derit ranjang.
Kusahut ponsel yang tergeletak di nakas. Kutempelkan jempol pada layar untuk membuka kunci. Kutekan nomor darurat. Saat akan memencet tombol panggil, aku terhenyak, menyadari sesuatu. Bagaimana kalau polisi menuduhku sebagai pembunuh? Di kamar itu hanya ada aku dan si mayat.