Kepalaku nyut-nyutan karena pengar. Entah berapa botol yang kuminum semalam, aku tak ingat. Ditambah omelan Lastri, istriku, yang semakin dibiarkan malah merembet ke mana-mana membuatku tambah frustrasi.
"Kamu tuh ya, sebagai kepala keluarga mbok ya yang tanggung jawab! Jangan apa-apa minta! Cari kerja biar dapat uang. Kalau nggak bisa menafkahi, setidaknya nggak minta ke istri. Apa nggak malu? Istri yang seharusnya terbuat dari tulang rusuk malah jadi tulang punggung!" Lastri mencak-mencak. "Lihat tuh si Budi! Istrinya dimodalin buat ke salon. Kamu? Boro-boro modalin, malah minta modal terus. Buat mabuk pula!"
Budi kan bapaknya kaya, punya sawah di mana-mana. Bapaknya juga baru meninggal. Tentu warisannya melimpah. Lah, aku? Bapakku aja tak tahu di mana rimbanya. Sejak kecil, aku sudah ditinggal Bapak. Kata Ibu sih dia minggat bersama wanita lain. Sedangkan ibuku sudah meninggal sembilan tahun yang lalu. Baliau sakit komplikasi. Bukannya meninggalkan warisan, baliau malah meninggalkan utang.
Dulu, aku juga punya usaha, tetapi habis kujual untuk pengobatan ibuku. Sudah begitu, ibuku tidak kunjung sembuh. Setiap minggu beliau harus cuci darah dua kali. Aku tak memiliki saudara. Jadi, semua pengobatan aku yang tanggung. Itulah penyebab aku bangkrut. Sebenarnya aku bisa saja memulai usaha lagi. Namun, aku butuh modal. Sayangnya aku tak punya. Uang saja tak punya apalagi modal. Istriku mana mau kumintai modal. Lha wong minta uang lima puluh aja ngomelnya sampai tetangga satu RT dengar. Aku juga tak bisa bekerja karena keterbatasan usia.
Pernah dulu aku melamar kerja ke sana kemari sampai aku lelah. Tetapi tak ada yang mau menerimaku. Katanya aku sudah terlalu tua dan minim pengalaman. Bah!
"Zaman sekarang kalau kamu bener-bener niat kerja, pasti ada yang bisa dikerjain," cerocos istriku lagi.
Cih! Ngomong doang sih gampang.
"Noh, kayak si Le .... Le siapa itu, yang temenmu itu? SD aja nggak lulus lho dia."
"Feri?" Fe jadi Le, parah betul ingatan istriku. "Dia kan tukang bangunan. Nggak perlulah sekolah tinggi-tinggi."
"Makanya! Nggak sekolah aja dia bisa cari nafkah, lha kamu, apa?"
"Aku kan lulusan S1," protesku. "Masa jadi tukang bangunan?"
"Lha trus? Emang salah, lulusan S1 jadi tukang bangunan?"
Ya salah, dong, batinku. Namun, aku tak mau berdebat dengan istriku sekarang. Malas.
"Atau kayak itu, si Alan yang jadi tukang ojek online. Sehari bisa dapat ratusan ribu. Kan lumayan."
"Aku kan udah pernah jadi tukang ojek. Tapi apa? Kamu terus-terusan minta antar. Nggak bayar pula," aku mengingatkan. Dulu aku pernah menjadi tukang ojek. Namun, setiap hari Lastri menelepon, minta diantar ke pasar, ke rumah temannya, ke supliyer, ke pelanggan, ke bulan. Eh, kejauhan. Pokoknya dia seenaknya minta antar. Alhasil aku tidak sempat mencari penumpang lain.
"Habis, yang kamu pakai kan motorku juga. Ya aku nggak mau bayar, dong."
Aku memutar bola mata. Aku berniat masuk ke dalam rumah. Namun, belum sempat melewati rolling door, sebuah motor berhenti di depan rumah. Rupanya itu adalah motor Nier, pemuda urakan teman Nadia, anakku.
Aku benci kepada pemuda itu. Gayanya sok sekali. Rambutnya dipotong pendek dan diberi warna merah. Telinganya dilubangi. Aku heran sekali bagaimana Nadia yang kalem bisa tergila-gila kepadanya. Selain urakan, dia juga tak sopan, tak menghargai orang tua. Nyatanya, setiap datang, dia tak pernah menyapa, apalagi masuk rumah. Dia hanya membunyikan klakson dan mengangguk sekilas kepada aku dan istriku. Dia bahkan tidak turun dari motor matiknya.