Segera, kupeluk bahu istriku, menuntunnya memasuki pintu rolling door yang terbuka separuh. Kucengkeram erat bahunya supaya tidak bisa menengok ke belakang. Kalau dia sampai tahu Alan tidak meminjam motor dariku, mampuslah aku.
Lastri menoleh padaku dengan kernyitan di dahi. Aku tersenyum semanis yang kubisa agar dia tak curiga.
"Kamu ngapain peluk-peluk?" tanyanya mendorong tubuhku dengan siku.
"Nggak apa-apa, to, Yang. Wong sama suami sendiri kok gitu, sih?" Saat bicara seperti itu, kudengar mesin motor melewati jalan di belakangku.
"Jijik tahu. Kamu kan nggak pakai baju. Keringatmu tuh nempel. Mulutmu juga bau alkohol." Lastri melepas pelukanku. Ia lantas masuk. Jaket milik si tukang ojek sudah kukembalikan ketika membayar tadi.
Aku mencium napasku sendiri dan benar saja, bau alkohol menyengat. Aku segera menyusul Lastri ke dalam rumah, melewati celah antara dua etalase berisi kebutuhan pokok yang dijual lalu masuk lagi ke pintu lain yang menuju ruang tengah rumah. Aku langsung ke belakang, menyahut handuk dan mandi.
Dinginnya air yang mengguyur kepala membuatku merasa segar. Pengarku perlahan berkurang, begitupun dengan pening yang sedari tadi mendera. Aku dapat berpikir lebih jernih sekarang. Selesai mandi, perutku melilit-lilit. Aku lapar. Setelah berpakaian dan menyisir rambut, aku membuka tudung saji di meja makan dan menemukan sayur sop ceker. Segera, aku melahapnya. Saat kenyang, aku mengambil rokok di etalase toko. Salah satu keuntungan memiliki istri pengusaha adalah aku bebas mengambil barang apa pun tanpa membayar. Hanya saja, barang yang bisa kunikmati hanya rokok. Itu pun terbatas. Aku dijatah satu bungkus setiap hari. Belum sampai sore biasanya sudah habis. Jika nekat mengambil lagi Lastri tak akan memberiku uang selama seminggu penuh.
Bicara soal rokok, aku ingat telah merokok di kamar hotel tadi malam. Aku ingat tidak merokok sendiri. Namun, aku tidak ingat dengan siapa aku merokok.
Aku berniat kembali ke dalam rumah, menyulut sebatang dan istirahat sebentar sembari menonton berita. Akan tetapi, aku kepikiran motor yang masih teparkir di hotel. Aku tak bisa membiarkannya berlama-lama di sana. Aku harus segera mengambilnya sebelum ada yang menemukan mayat itu kemudian memanggil polisi. Aku tak mau dihubung-hubungkan dengan mayat itu. Meski begitu, aku penasaran. Bagaimana pria itu sampai ke kamarku? Siapa dia?
Aku berusaha mengurutkan kegiatanku kemarin. Aku ingat meminta uang kepada Lastri kemarin sore. Aku beralasan uang itu untuk membayar .... Apa ya? Aku tak ingat. Pokoknya aku membohonginya dan berhasil. Aku menggunakan uang itu untuk pergi ke bar. Aku menelepon temanku, David, supaya menemaniku minum-minum.
David adalah temanku. Tak seperti kawanku yang lain, dia merupakan satu-satunya kawan semasa kuliah yang masih mau berhubungan denganku. Kawan yang lain, setiap kutelepon selalu menghindar. Terutama sejak ibuku sakit dan butuh banyak dana. David bukanlah kawan terbaik. Ia mau berteman denganku karena membutuhkanku.
David merupakan seorang pengacara. Dia bergabung dalam tim paling top dari Jakarta, yang sering menangani kasus para artis dan politikus. Tak jarang ia pergi ke luar kota untuk membantu rekannya di sana. Namun, fokus utamanya adalah menangani kasus di sini. Walau ia tergabung dengan tim pengacara kondang, kantornya ada di sini. Ibarat toko, ia adalah kepala toko cabang kota ini.
Aku sering mengajaknya minum ke bar. Apalagi kalau aku sedang butuh hiburan setelah debat yang berakhir dengan hinaan oleh istriku. Biasanya, David tak segera mau kalau kuajak, tetapi setelah kupaksa, dia pasti datang ke bar, menemaniku minum. Namun kemarin, David menolakku karena dia tengah berada di luar kota dan aku tak bisa memaksanya. Alhasil aku ke bar sendiri.
Aku mengingat jumlah minuman yang kupesan dan yakin tak banyak. Sebab, aku tak memiliki banyak uang. Kalau David menemaniku, dia yang selalu membayar minumanku. Tapi semalam, tak ada yang membayariku. Jadi, aku yakin sekali tak minum banyak alkohol. Namun, bagaimana aku bisa semabuk itu hingga tak ingat apa-apa? Bagaimana pula aku memiliki uang untuk menyewa kamar hotel?
Kukernyitkan kening, mencoba fokus mengingat apa yang terjadi di dalam bar itu. Sayangnya, ingatanku tumpang tindih dengan ingatan lain, membuatku frustasi. Ah, mungkin aku bakal bisa mengingatnya nanti, pikirku meremehkan. Lagi pula, aku sudah keluar dari TKP. Tak ada yang dapat menghubungkanku dengan mayat itu. Yang penting sekarang, aku harus memikirkan cara mengambil motorku. Kalau tidak, Lastri bisa marah lagi padaku.
Waktu sudah menunjuk pukul tujuh pagi. Aku yakin orang hotel tak akan menemukan mayat itu kalau tidak membuka pintu kamar. Dan, tak mungkin para penjaga hotel membuka pintu kamar yang mereka pikir ada penghuninya dengan seenaknya. Jadi, aku sedikit santai. Aku berniat menggunakan ojek untuk membawaku ke sana dan mengambil motorku. Namun, aku perlu uang.
Kulirik sekitar dan tak mendapati istriku di mana pun. Mungkin, dia sedang keluar. Dengan langkah pelan, aku ke belakang meja toko. Kutarik laci tempat menyimpan uang hasil penjualan. Di sana aku menemukan beberapa lembar uang lima puluhan. Diam-diam, aku merogohnya.
"Ngapain?" Suara Lastri membuatku terlonjak. Ia berdiri di belakangku, melipat tangannya ke dada. Matanya memelototiku. "Tutup lagi."