Punggungku bersandar dengan lesu di tepian pintu yang terbuka. Mataku menatap layar televisi yang kini menampilkan iklan sirop. Sebatang rokok yang belum sempat kunyalakan masih terjepit di antara jari-jariku yang gemetar. Aku takut para polisi tahu bahwa aku pernah di kamar yang sama dengan mayat itu. Dan tentu, mereka pasti akan tahu. Entah dari sidik jari maupun CCTV. Tetapi aku sangsi, kerena pasti bukan hanya sidik jariku yang ada di sana.
Namun, untuk CCTV .... Tunggu dulu! Aku berpikir. Hotel tempatku menginap adalah hotel kelas melati. Biasanya, hotel dengan kelas tersebut jarang memasang CCTV di koridor. Alasannya tentu saja melindungi privasi penyewa. Hotel dengan kelas tersebut sering digunakan untuk menginap pasangan tidak resmi. Tentu, sebagai pemilik mereka akan kerepotan kalau istri-istri para penyewa meminta rekaman CCTV sebagai bukti di pengadilan ketika menuntut cerai. Para pelanggan pun tak akan nyaman dan akhirnya banyak yang tidak mau menyewa kamar di sana. Aku tahu hal ini dari David.
Ia pernah bercerita tengah membantu seorang suami yang menggugat hotel tempatnya menginap karena memasang CCTV. Benda tersebut menyorot depan kamarnya ketika menginap sehingga membuatnya rugi. Berita itu juga pernah viral. Jadi, aku yakin pemilik hotel lain yang bergerak dalam memenuhi kebetuhan pasangan-pasangan tidak resmi tentu mendapat pembelajaran dari kasus tersebut.
Aku juga ingat saat keluar kamar untuk kabur tadi pagi, aku tak melihat CCTV di koridor. Jadi, aku yakin polisi tak akan menemukanku. Namun, bagaimana kalau mereka memeriksa buku tamu? Matilah aku.
"Mas?" Lastri memanggilku. "Kamu kenapa?"
"Ng-nggak apa-apa," kataku. Aku lantas melangkah ke tempat baju-baju kotor. Kebiasaan baikku satu-satunya adalah setiap selesai menggunakan motor, tanganku selalu otomatis memasukkan kuncinya ke dalam saku celana. Dan kebiasaan itu menyelamatkanku sekarang. Seandainya aku meninggalkan kunci itu di kamar hotel ... wah, matilah aku dua kali.
"Dik, aku mau pergi sebentar. Urgent." Setelah pamit, aku berlari ke luar rumah seolah sedang kesetanan sampai-sampai Lastri yang memanggil tidak kugubris. Dalam benakku penuh dengan satu tujuan: harus segera mengambil motor. Sembari berlari menuju lampu merah, tempat aku berjanji temu dengan Alan, pikiranku berpacu. Aku mengingat-ingat nama dan alamat apa yang kupakai saat memesan kamar? Aku berharap tak memakai nama asli. Karena kalau iya, sungguh, bodoh sekali aku. Samar-samar aku ingat melihat buku tamu hotel yang tebal. Tanganku memegang bolpen yang disodorkan oleh seorang lelaki berseragam merah marun. Aku menulis sebuah nama dalam buku itu. Aku menulis .... Tugiman?
Tidak, tidak mungkin. Itu judul lagu dangdut kesukaanku. Duh, parah betul ingatanku malam itu. Aku mengernyit, mengingat-ingat apa yang kutulis.
"Yono."
Aku menggeleng. "Nggaklah! Aku yakin aku nggak menulis nama asliku."
"Oi! Yon!" Rupanya itu tadi bukan pikiranku yang berbicara melainkan Alan yang sudah tiba.
Aku menghela napas panjang. Tanpa menunggu lama aku duduk membonceng Alan. Temanku yang memakai jaket hijau seragam perusahaannya itu pun langsung tancap gas.
"Ngapain sih pagi-pagi minta antar ke hotel?" tanyanya sembari mengemudi.
Aku tidak mungkin memberitahu bahwa aku menginap di sana semalam. Dia bisa mencurigaiku kalau tahu ada mayat yang ditemukan di salah satu kamar hotel itu. Aku sangat yakin dia tak menonton berita tadi. Jadi, dia pasti tidak tahu apa-apa. Aku harus mencari alasan.