Lututku lemas ketika dua orang berpakaian preman mendatangiku. keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aku sampai tak memperhatikan saat Alan menarik motornya dariku dan kabur. Aku tak tahu siapa orang-orang itu. Apakah mereka polisi yang sedang menyamar? Apakah mereka intel yang ditugaskan untuk menangkapku?
"Si-siapa mereka, Dik?" tanyaku kepada Lastri. Aku gugup.
"Penggemarmu!" jawabnya memelotot. Dia lantas memukul bahuku. "Dasar laki-laki nggak bertanggung jawab! Teganya kamu berutang, padahal aku selalu memberimu uang! Mana nggak bilang-bilang! Sampai-sampai mereka datang buat nagih."
Mulutku menganga. "Jadi ... jadi, mereka bukan polisi?" Aku menghela napas lega. Rupanya mereka adalah dept. kolektor.
"Aku sih maunya mereka polisi, biar sekalian nangkap kamu!" komentar istriku. Kejam sekali dia.
"Pak, ini gimana cicilannya? Sudah satu bulan lho, masa nggak dibayar sama sekali? Kapan bisa bayar?" Dept kolektor pertama mengintimidasiku. Ia berdiri menjulang di depanku sementara satunya berdiri di belakangku. Mereka melipat tangan ke dada, menunjukkan betapa besar otot mereka.
Meski bukan polisi, tetap saja membayangkan bogem mereka melayang ke wajah membuatku keder. "Ma-maaf, Pak. Sekarang saya benar-benar nggak punya uang. Saya berjanji besok langsung saya lunasi."
"Besok kapan? Ini sudah jatuh tempo, lho."
"Seminggu lagi, Pak. Tolong beri saya keringanan seminggu lagi." Aku melirik Lastri yang melengos, pura-pura tak mendengarku.
"Benar, ya! Kalau seminggu lagi Bapak belum juga bayar, terpaksa kami ambil motornya," ancamnya.
"Tunggu, tunggu!" Lastri membuka suara lagi. "Dia yang berhutang, kenapa motor saya yang diambil?"
Para dept kolektor menoleh kepada istriku. "Ya, karena bapak ini berhutang dengan menjadikan surat BPKP motor sebagai agunan."
"Apa?" Mata Lastri memelotot. Ia mengelus dadanya yang kembang-kempis lalu menggeleng. "Nggak kuat lagi aku, sumpah! Nggak kuat! Bawa aja dia, Pak. Kalau bisa tukar tambah, saya ikhlas ditukar sepeda."
"Dik!" Aku merajuk.
Alih-alih, dia malah masuk ke roko, meninggalkanku menghadapi para penggemarku sendirian. Mati-matian, aku meyakinkan para debt kolektor tersebut. Setelah mengucap janji akan melaksanakan kewajibanku membayar, mereka pun pergi. Aku lantas menyusul Lastri masuk ke toko.
Dengan mata menyala-nyala, istriku memelototiku. Pelototannya mengingatkanku pada harimau di kebun binatang yang marah setelah kulempari batu ke kandangnya. Di kebun binatang, ada kandang yang memisahkanku. Di sini, Lastri bisa menerkamku kapan saja, mengunyah kepalaku tanpa halangan. Aku menjadi ngeri. Tak mau kepalaku putus, aku meminta maaf. Aku beralasan uang yang kupinjam itu untuk memenuhi kebutuhan.
"Kebutuhan apa?" tanyanya. "Makan sudah kusediakan. Rokok selalu ambil dari toko. Bensin selalu kuisi. Apa lagi?"
"Memang, semua kebutuhan kamu yang cukupi, tetapi aku juga perlu uang untuk jajan. Aku malu kalau sedang main bersama teman-teman, aku selalu meminta mereka membayar."
"Kalau gitu nggak usah main!" Istriku kembali bersungut-sungut.
Aku diam sebentar, membari waktu untuknya. Aku tahu kalau menyela sekarang, dia akan tambah beringas. Setelah beberapa lama, dia pun berkata, "Sebenarnya aku tuh kecewa bukan karena kamu berutang, melainkan aku kecewa karena kamu berutang tanpa sepengetahuanku. Aku ini kan istrimu, Mas!"