Cat in The Trap

IyoniAe
Chapter #6

Bab 6

Aku tak sadar telah tertidur. Dalam mimpi, aku seolah melayani seorang pembeli. Namun, aku tak berada di toko tetapi di pengadilan. David bertanya tentang harga madu yang kujual dan aku menjawab bahwa harganya lima puluh juta. Dia menawar tiga puluh juta dan kuberikan. Aku merasa geli dengan tawar-menawar tersebut.

Ketika bangun, rupanya memang ada pembeli yang masuk ke toko. Dia membeli gula dan setelah pergi, aku teringat mimpiku. Kemudian, secara ajaib, aku menemukan jawaban dari masalahku. Masalah tentang mayat di kamarku itu. Bukan madu jawaban yang kumaksud, melainkan David. Dia kan pengacara. Dia mungkin dapat membantuku.

Kutelepon David. Namun dia tak mengangkatnya. Mungkin dia sedang sibuk, pikirku. Lalu, kutinggalkan pesan. Aku menunggu pesanku dibaca olehnya dan begitu terbaca, aku kembali meneleponnya.

"Bro," sapaku. "Aku mau minta tolong."

"Bentar, bentar," jawabnya. Aku mendengar dia bercakap dengan seseorang di sana lalu beralih padaku, "Aku sedang sibuk, nih."

"Bentar aja, Bro, soalnya ini penting banget." Aku segera mencerocos, "Jadi gini, awalnya aku kan ke bar. Itu lho, waktu aku telepon kamu ngajak ngebar tapi kamu nolak. Nah, di sana—"

"Langsung ke inti aja. Aku sedang ada sidang di pengadilan."

"Kalau gitu, bisa nggak kita ketemu?" pintaku.

"Wah, nggak bisa hari ini. Aku lagi bantu rekanku di luar kota."

Aku mulai kesal. "Sekarang job-mu banyak, ya? Nggak kayak dulu." Ada sedikit nada sindiran dalam suaraku.

"Ya, begitulah." Dia terdengar salah tingkah. "Gimana kalau nanti pas udah nggak sibuk, aku telepon balik. Oke?"

"Tapi, aku lagi butuh banget."

"Aku janji, deh. Begitu persidangan usai, aku akan langsung telepon kamu."

Aku pun mendesah. "Okelah, tapi bener, ya? Soalnya aku benar-benar butuh. Awas kalau enggak."

Hening sejenak. Aku menunggu jawabannya. Alih-alih, aku medengar dia mendecakkan lidah sebelum melanjutkan, "Ya udah, kamu mau berapa?"

"Apa?" Aku terkejut. "Aku bukan mau pinjam uang. Memangnya setiap menghubungimu aku selalu minjam uang?"

"Seingatku sih begitu," jawabnya.

"Sialan." Aku marah. "Aku perlu nasihatmu sebagai pengacara. Pokoknya, kalau kamu sudah selesai di sana kabari aku. Ingat, kamu punya utang budi kepadaku. Tanpa aku—"

"Iya, iya," dia memotong ucapanku. "Nanti kukabari."

Sambungan terputus. Bah! Sialan betul David. Mentang-mentang sukses, lupa kawan lamanya. Memangnya siapa yang berjasa membuat kariernya naik sampai ke posisi sekarang? Tentu saja aku. Iya, aku! Tapi, apa balasannya? Bah! Aku memaki ponselku, menumpahkan kekesalanku. Ketika kemarahanku sedikit reda, aku mencoba bersabar. Sebab, aku benar-benar membutuhkannya saat ini.

Sisa hari itu kuhabiskan menengok ponsel, menunggu kabar dari David. Namun, hingga malam tiba, dia tak kunjung meneleponku balik. Apa memang sidang bisa berlangsung seharian penuh? Berengsek! Dia benar-benar tak bisa diandalkan. Dia perlu kuingatkan tentang utang budinya lagi. Tanpa aku, kariernya tak akan semenanjak ini. Sungguh sialan. Malam itu aku tidur dengan hati mendongkol.

Lihat selengkapnya