Kupikir kemarin adalah hari tersial bagiku tetapi rupanya aku salah. Hari tersial itu adalah hari ini. Kenapa aku bisa bilang begitu, akan kuceritakan dengan runut dan berharap kalian memahaminya.
Kesialan itu bermula ketika aku ngopi bersama Alan. Sebenarnya, aku sangat menyukai kopi yang kental, hitam dan sedikit pahit. Namun, yang paling aku suka adalah aromanya. Nah, pagi itu aku tak mendapatkan aroma dan rasa pahit khas kopi yang kudambakan karena setiap meneguk, aku merasa mual. Aku mual mendengar informasi dari Alan kalau hotel tempatku menemukan mayat memiliki CCTV. Meski hanya menyorot parkiran, tetap saja benda itu pasti merekamku saat datang ke hotel.
Para polisi pasti membandingkan sosokku dengan Alan yang berbeda. Walau mengenakan jaket, tetap saja Alan lebih kurus dariku. Tulang pahanya saja seperti lidi. Polisi bakal langsung tahu kalau motor itu bukan milik Alan. Mereka pasti akan mengecek nomor polisi motor dan akhirnya akan sampai pada istriku. Sebab, motor itu dibeli atas nama istriku. Lalu, saat para polisi datang dan menanyainya, hancurlah aku. Mereka pasti memberitahu bahwa aku terekam mendatangi hotel.
Namun, tunggu dulu. Bisa saja Lastri memberitahu para polisi bahwa motorku dipinjam Alan. Walau begitu tetap saja, setelah menginterogasi Alan, mereka akan sampai padaku. Tidak ada jalan selain aku harus segera menciptakan alibi. Tetapi, bagaimana? Aku benar-benar butuh David.
Aku menelepon David tetapi lagi-lagi, panggilanku tak digubris. Aku juga mengirim pesan yang isinya sedikit mengancam. Bukan, bukan. Aku bukannya mengancam, hanya mengingatkan tentang jasaku yang membuatnya menjadi pengacara terkenal. Aku kesal karena akhir-akhir ini dia begitu sombong.
Omong-omong, gagal menghubungi David adalah kesialanku yang ke-dua. Kesialanku yang berikutnya adalah nekat pergi mendatangi rumah David.
Tidak seperti rumahku yang di kawasan perkampungan, rumah David berada di kawasan elite. Dia tinggal di sebuah apartemen 30 lantai. Di kota ini hanya ada beberapa apartemen saja. Sebab, kota ini bukanlah kota yang besar. Penduduk kota ini menganggap orang yang tinggal di apartemen merupakan orang kaya, eksklusif. Padahal menurutku orang yang tinggal di sana malah rugi. Kenapa? Ya, karena tidak punya tanah sendiri. Mereka hanya punya lantai. Sudah begitu, apa-apa harus bayar mahal. Seperti bayar keamanan. Kalau tinggal di rumah perkampungan tidak perlu membayar uang keamanan. Kan ada tetangga. Tapi, sudahlah. Aku tak mau membandingkan pilihan David. Namanya juga orang sukses, mau tinggal di mana pun terserah.
Yang membuatku kesal saat bertamu ke apartemen David adalah setiap kali masuk, aku tidak bisa langsung ke tempat tinggalnya tanpa ditanyai oleh satpam. Setiap berkunjung satpam itu pasti bertanya siapa aku. Hei! Apa dia amnesia? Bukan kali itu saja aku berkunjung ke apartemen David. Seharusnya dia hafal dengan tampangku, tanpa harus bertanya siapa aku. Sungguh merepotkan! Selain itu, aku tidak diperbolehkannya langsung naik ke apartemen David. Aku juga ditanya apa keperlukanku ke sana. Bah!
Karena kesal, aku menjawab itu bukan urusannya. Dia memintaku menunggu sebentar dan menunduk, mengecek sesuatu di balik meja tinggi tempatnya bekerja. Tak lama kemudian, dia kembali menoleh padaku dan bilang kalau David pergi. Aku tak percaya.
"Kamu dikasih tip berapa supaya berbohong?" tuduhku.
"Demi Allah," katanya dengan logat Jawa yang kental. "Pak David ndak ada di atas. Beliau pergi ke luar kota." Dia memperlihatkan catatannya. "Setiap penghuni apartemen biasanya lapor pada saya ketika hendak pergi. Tujuannya ya untuk ini, kalau ada yang mencari saya bisa memberitahunya. Jadi, biar yang mencari itu ndak kecele."
Aku mendengkus kesal. "Kapan dia kembali?"
"Ndak tahu. Tinggalkan saja nomor telepon Bapak di sini. Nanti kalau Pak David sudah kembali, saya akan menelepon jenengan."
"Nggak usah. Aku bisa telepon sendiri." Aku lantas meninggalkan satpam itu. Di luar, aku menelepon David lagi. Lima kali. Namun, kelima panggilanku tak dijawab. Pada panggilan ke-enam, aku masuk ke pesan suara. Sialan. Berani-beraninya dia memperlakukanku seperti ini. Awas saja! Aku bisa membuatnya sukses, tetapi aku juga bisa membuatnya hancur. Kukirim ancaman tersebut melalui WhatsApp. Sayangnya pesanku hanya centang satu. Sungguh sial.
Aku pulang dengan hati mendongkol. Kesialanku berlanjut saat Lastri bertanya dari mana saja aku. Sejak mengantar Nadia, aku belum pulang. Karena masih dongkol, aku diam saja. Kubiarkan suaranya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan.
"Mas!" panggilnya karena aku tak merespons.
"Apa sih, Dik?" tanyaku sedikit membentak.