Kabur tidaklah semudah yang kupikir. Aku harus memperhitungkan semuanya. Lastri dan Nadia tidak boleh tahu aku kabur ke mana. Aku harus pergi diam-diam. Jadi dengan sabar aku menunggu malam tiba. Lastri mengira aku sakit sehingga dia mengizinkanku istirahat di kamar. Akan tetapi, aku tidak istirahat. Sebagai ganti, aku memasukkan baju-baju, handuk, sikat gigi, sabun, dan perlengkapan lain yang kubutuhkan ke dalam tas ransel besar lalu menyembunyikannya di gudang.
Pukul sembilan kurang sedikit Lastri yang sudah menutup toko. Maklum, dia yang biasanya hanya duduk-duduk di ruang tengah sembari menonton sinetron harus melakukan pekerjaanku. Dia bahkan menjemput Nadia. Biasanya, dia akan marah ketika aku menutup toko pukul sembilan. Terlalu sore, katanya. Kini, dia merasakan apa yang setiap hari kurasakan. Lelah dan bosan.
Setelah bersih-bersih singkat, dia langsung masuk kamar. Ranjangku berderit ketika dia berbaring di sampingku. Aku mencoba tak bergerak di balik selimut, pura-pura tidur. Apalagi saat dia mengeluh tubuhnya sakit dan meminta supaya aku cepat sembuh.
"Mas!" panggilnya saat aku tak merespons. "Sebenarnya apa yang kamu perbuat sampai-sampai dikasih surat cinta oleh polisi?"
Aku tergoda untuk menjawab, tetapi masih bisa kutahan.
"Kamu nggak nyolong, kan?" tanyanya lagi. "Tapi, kalau kamu nyolong, pasti sudah ditangkap, bukannya dikasih surat dulu."
Aku memikirkan perkataannya. Benar juga, batinku. Kalau begitu, kenapa aku diberi surat? Apa yang mereka inginkan dariku? Aku penasaran, tetapi tak berani membaca surat itu. Membukanya saja aku ketakutan.
"Dari bentuknya, rasanya surat itu bukan surat tilang," ujar istriku lagi, lebih seperti kepada dirinya sendiri. "Aku yakin, kamu pasti berbuat macam-macam yang merugikan seseorang. Mungkin surat itu malah surat tuntutan. Ya, kan?"
Aku menahan mulutku supaya tidak menjawab "Mana kutahu".
"Kamu beneran udah tidur?"
Ya iyalah, batinku.