Warung yang kupilih untuk sarapan adalah warung soto yang sepi. Kenapa harus yang sepi? Kalau ramai aku takut ada yang mengenaliku. Namun, risiko yang harus kuambil memilih warung yang sepi yaitu rasanya tidak enak. Dan, yah, rasa kuahnya hambar. Walau begitu, aku tetap memaksa soto itu masuk ke perut. Hal yang paling kunikmati saat di warung itu adalah kesendirianku. Sejak keluar kamar, aku merasa seperti diikuti. Orang-orang yang kulewati kukira intel yang sedang menyamar, mengamatiku dan ketika aku lengah, mereka bakal menyergap. Mata mereka yang menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kutebak justru membuatku tambah takut. Rasa waswas selalu membayangiku.
Ketika sampai di warung itu, aku merasa lega karena penjualnya seorang nenek yang untuk berjalan saja kesulitan. Aku yakin nenek itu bukan polisi yang tengah menyamar. Jadi, aku merasa aman di sini.
Aku memutar-mutar ponselku yang mati, berpikir untuk menghidupkannya sejenak guna menelepon David. Jika ada orang yang bisa membantuku saat ini, dialah David. Dia pasti mengerti apa yang harus kulakukan. Namun, aku terlalu takut untuk menyalakan ponsel. Polisi sudah mengantungi nomor ponselku.
Seseorang masuk ke warung tersebut. Aku menoleh dan membelalak saat melihat seragamnya. Jantungku berdentum-dentum. Dia adalah seorang polisi. Walau badannya tampak ceking, tapi tetap saja dia polisi. Seragamnya agak berbeda dengan yang pernah kulihat. Dia memakai sebentuk kain segitiga yang melingkar pada lengan atas tangannya.
"Eh, Pak Babin," sapa si pemilik warung. "Mau makan soto?"
"Nggak dulu, Mbok," jawabnya. Suaranya ramah, tetapi bagiku suaranya bagai malaikat maut. "Aku pesan kopi aja. Semalaman nggak tidur karena ngobrol sama teman. Katanya di kota sebelah lagi ada pembunuhan. Mbok harus hati-hati."
Tubuhku mendadak tegang. Tanganku yang memegang sendok gemetar.
"Halah, siapa yang mau membunuhku? Lha wong sudah setua ini kok dibunuh. Dibiarin juga mati sendiri," kelakar Mbok Pemilik Warung.
Pak Babin mengibaskan tangan. "Bukannya gitu, Mbok. Ingat kata Bang Napi di TV, kejahatan bukan hanya karena ada niat, tetapi juga ada kesempatan."
Kini, gantian pemilik warung yang mengibaskan tangan. "Halah," katanya.
"Loh, serius Mbok. Kata temenku sampai sekarang pelakunya belum ketemu." Dia lantas duduk di meja sampingku, membuat kakiku ikut gemetaran. Aku menunduk, menghindari kontak mata dengannya. Dia menambahkan, "Tapi tenang saja. Kalau sampai pembunuh itu ditemukan di kampung kita, akan kucincang dulu sebelum kuserahkan ke Polres Kota."
Nasi yang sudah masuk ke mulut tak bisa kutelan setelah mendengar ucapannya. Aku pun menenggak teh, menggelontorkannya dengan paksa melewati tenggorokan. Bergegas, aku bangkit, membayar makananku.