Aku duduk termangu di area SPBU. Pikiranku buntu. Mataku menerawang, mengamati orang-orang yang sedang mengantre, menuntun kendarannya dengan lambat. Aku membayangkan kehidupan mereka, apakah jauh lebih baik denganku sekarang? Tempat apa yang akan mereka tuju setelah keluar dari SPBU? Apakah mereka akan pulang, disambut oleh senyuman pasangan serta anak-anak mereka, atau oleh orang tua mereka? Apa mereka pernah merasakan dikejar ketakutan?
Aku mendesah panjang. Bahuku melemas dengan pasrah. Mendadak ponselku berbunyi. Bukan dering panjang, hanya sebuah notifikasi pendek. Setelah membuka kunci layar, aku melihat pesan dari David yang memberitahu bahwa dia ada di rumah sekarang.
Tanpa menunggu lama, aku segera tancap gas. Begitu masuk ke gedung apartemen, satpam yang kemarin kutemui mencegatku. Dia membiarkanku naik lift setelah mengonfirmasi kedatanganku lewat telepon. Aku mengeluh kepada kawanku itu saat pintu apartemennya terbuka.
"Gila! Susah banget sih menemuimu."
Dia tampak sudah memakai piyama dengan bahan sehalus sutra. Bau sabun mandi yang segar tercium dari tubuhnya. Sandal rumahnya tampak seperti di hotel-hotel, mahal dengan bulu-bulu yang lembut dan bersih. Dia mengernyit memandangku di tengah pintu.
"Kamu habis dari hutan?" tanyanya.
Aku mengamati penampilanku yang persis seperti gembel dari pantulan cermin yang dipasang sebagai hiasan dinding apartemen. Rambutku awut-awutan. Kumisku tak rapi. Bulu tumbuh di janggutku, pendek dan tajam seperti jarum, mencuat ke sana kemari dengan posisi tak beraturan. Bibirku pecah-pecah dan hitam. Kaus yang kukenakan kusut dan lusuh. Saat berbalik, aku melihat debu menempel di celana bagian bokong. Sudah menjadi kebiasaan ketika melihat debu di pakaian, aku menghilangkannya dengan menepuk-nepuk tempat noda itu berada. Namun hal itu rupanya menganggu David.
"Nanti debunya jatuh ke karpet." Ia melarangku melakukan kebiasaan itu. "Sudah, buang aja pakaianmu. Akan kupinjami bajuku."
Aku tak menolak. Lagi pula, saat melihat apartemennya yang kinclong, mendadak aku merasa seperti plastik hitam yang menyasar ke kebun bunga, mengganggu pemandangan. Aku segera mandi, bercukur, dan berendam dengan air panas di bath-up. Enak sekali menjadi David, pikirku. Sukses, kaya, karier cemerlang, dihormati. Seandainya ibuku tak sakit, mungkin sekolahku tidak terasa sia-sia. Dulu aku kuliah. Namun, ketika ibuku sakit, sekolahku menjadi terbengkalai. Tugas-tugas kuselesaikan sesudah death-line hingga tak jarang aku memohon kepada dosen sembari bersujud supaya menerima tugasku. Pada akhirnya aku bisa lulus, tetapi dengan IPK yang lebih rendah dibanding teman-temanku.
Sejak dulu aku tak pernah bekerja di perusahaan. Sebab, setiap melamar, mereka selalu menolakku setelah melihat nilaiku. Akhirnya aku menyerah dan memilih membuka toko kelontong di rumah. Selain bisa sambil merawat ibuku, aku juga memiliki penghasilan.
Setelah menikah dengan Lastri keuanganku cukup membaik. Aku diberi modal oleh mertua hingga toko kelontongku maju pesat. Namun, semua habis kala ibuku harus masuk rumah sakit. Kejatuhanku pun dimulai.
Biaya rumah sakit untuk ibuku tidaklah murah. Aku menjual semua yang aku punya: rumah beserta toko kelontongku. Walau sudah habis-habisan Ibu tak kunjung sembuh dan malah tambah parah.
Suatu hari kakinya mendadak membengkak. Setelah diperiksa rupanya gula darahnya sangat tinggi. Ibu terkena komplikasi dan harus segera diamputasi supaya tidak menjalar. Aku perlu biaya lagi. Waktu itu aku bingung harus mencari uang ke mana. Semuanya sudah habis. Aku tak bisa meminta mertua karena Latri tak mengizinkanku. Dia mengataiku tak punya malu karena sudah dibantu masih juga berutang.
Saat itulah David datang. Dia masih menjadi pengacara junior yang disepelekan. Dia memintaku membantu kasusnya dan berjanji akan memberiku uang 30jt. Kasus itu merupakan kasus besar yang melibatkan anak walikota. Banyak wartawan yang menyorot kasus itu.