Cat in The Trap

IyoniAe
Chapter #14

Bab 14

Aku tak heran melihat David dapat mencapai posisinya hingga setinggi ini. Sebab, aku tahu organ di balik kepalanya itu berfungsi dengan baik. Selain itu dia juga licin. Dia mampu mengubah suatu kesialan menjadi keuntungan dalam sekejap. Kadang aku heran bagaimana dia bisa seperti itu? Jadi, pantas saja dia berhasil menjadi pengacara kenamaan dari kota yang notabene kecil ini.

Seperti sekarang, ketika dengan cerobohnya aku masuk ke jebakan polisi, ketika tanganku mencengkeram celana karena panik, dia tetap tenang. Tangannya menyentuh punggung tanganku sekilas, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan, ya, semua baik-baik saja. Dia mampu menyelematkan aku dengan melembarkan kertas print out wajah korban yang diambil dari tasnya.

"Aku sudah memperlihatkan wajah korban padanya tadi," katanya kepada para polisi yang menginterogasiku. "Jadi, jawabannya menjadi relevan."

Mata polisi itu memelotot kepada David, tetapi mereka tak berkomentar apa-apa. Mereka tampak kesal dan lanjut memberiku pertanyaan. Sekali lagi polisi itu bertanya apa aku pernah melihat wajah korban sebelumnya. Aku menjawab secara konsisten. Dan akhirnya, aku lolos dari kecurigaan. Meski begitu, para polisi itu berkata bahwa selama kasus ini belum selesai, aku tidak boleh pergi ke mana-mana. Jadi seandainya aku diperlukan lagi, mereka mudah menghubungiku.

 Matahari sudah tergelincir ke arah barat saat aku keluar dari kantor polisi. Meski lelah, aku lega. David membawaku kembali ke apartemen untuk mengambil motor. Aku berharap dia mengajakku mampir ke restoran dulu. Namun ternyata tidak. Aku tak mengeluh, meski perutku rasanya melilit. Dia sudah membantuku terlepas dari kasus ini. Akan tetapi, di dalam mobil, dia mengingatkan,

"Kau cukup beruntung karena senjata pembunuhan belum ditemukan. Kalau sudah, dan ada bukti yang mengarah bahwa kamulah pembunuhnya, aku nggak bisa apa-apa."

"Tenang aja. Bukan aku kok pembunuhnya."

David tampak ragu. Dia melanjutkan, "Menurutmu, siapa yang membunuh D...." Deruman motor yang menyalip mobil menghentikan perkataannya sejenak. Ia mengumpat dengan bahasa yang tak akan diucapkan lelaki terhormat.

"D apa?" tanyaku.

"Diancuk!" Ia mengumpat lagi, sembari menekan klakson karena mobil di depan kami tiba-tiba berbelok. Dia menurunkan kaca, mengacungkan jari tengah kepada pengemudi mobil yang berbelok sembarangan itu. Setelah kembali melaju dan menutup jendela mobil, ia mengeluhkan oknum yang terlibat suap untuk meloloskan pengemudi bodoh dalam ujian memperoleh SIM.

"Nah, nah," katanya kembali ke topik kasusku, "menurutmu siapa yang membunuh korban?"

Hening sejenak sebelum aku menjawab, "Aku nggak tahu. Pusing mikirinnya."

David mendecakkan lidah. "Coba diingat-ingat lagi. Kamu kan kalau mabuk suka sekata-kata. Apa mungkin kamu papasan dengannya di hotel, lalu entah bagaimana kalian bertengkar kemudian bunuh-bunuhan?"

"Enak aja!" Aku merengut. "Aku nggak pernah papasan sama dia. Apa mungkin dia dibunuh di tempat lain kemudian diseret ke kamarku?"

"Yang nggak mungkinlah, Yon. Kalau dia diseret pasti ada darah di lantai. Aku udah lihat laporan petugas inafis. Darahnya cuma ada di kasur dan sprei."

Aku mengerutkan dahi. "Mungkin dia dibius dulu, lalu dipindah ke kamarku dan dibunuh di situ."

"Aku udah baca laporan forensik. Nggak ada kandungan obat bius di darahnya."

"Em ...." Aku berpikir dengan serius. "Kalau gitu berarti hanya satu kemungkinannya. Wanita PSK itulah yang membunuhnya. Dia menggoda lelaki itu dan saat lengah dia menusuknya dengan pisau. Setelah itu dia kabur dan meninggalkanku."

Desahan keluar dari bibir David. "Gini, ya," katanya mencoba sabar. "Kronologimu itu nggak masuk akal. Pertama coba pikir, kalau emang dia dibunuh ketika berhubungan seks, minimal ada sesuatu milik si cewek. Misalnya cairan atau rambut kemaluan. Nah, di sini tuh nggak ada apa-apa. Lalu dari dalamnya luka, dokter memperkirakan pelakunya laki-laki. Meski begitu, dokter juga nggak menutup kemungkinan perempuan bisa menusuk sedalam itu tetapi harus dengan tenaga yang kuat dan konsisiten."

Aku kembali ragu terhadap diriku sendiri. Namun, kutepis pikiran itu jauh-jauh. "Ya, mungkin saja memang wanita itu membenci korban. Mungkin dia punya dendam kesumat."

"Kamu nangkap poinnya nggak, sih?" David tampak kesal.

Aku menelengkengkan kepala, bingung.

Dia mendesah lagi. "Intinya nggak ada wanita, Yon! Nggak ada!"

Aku menggeleng tak percaya. "Ada ya! Ya ampun! Aku harus gimana supaya kamu percaya padaku?" Rasanya aku ingin salto di sepanjang jalan saking gemasnya.

Lihat selengkapnya