Hari berikutnya aku bangun terlambat. Tanpa sarapan, aku lekas-lekas mengantar Nadia sebelum cecurut yang bernama Nier datang. Setelah kembali, seperti biasa, aku menjaga toko sementara istriku leha-leha. Semalam aku lupa menanyakan nomor Ceissa pada David. Ketika sampai rumah, aku meneleponnya. Namun, teleponku tak diangkat. Aku lantas ingat bahwa dia sudah tidur.
Aku menunggu hingga menjelang siang dan mencoba meneleponnya lagi. Namun, ponselnya malah mati. Tetanggaku datang untuk membeli gula setengah kilo ketika aku menggerutu tentang susahnya mencari seorang wanita. Tetangga itu merupakan tetangga yang sama dengan tetangga yang sering bergosip bersama istriku. Orangnya kepo habis. Sampai-sampai saat aku menguluh hal yang menjadi masalahku, dia menyeletuk, "Cari aja lewat aplikasi."
Aku mengamatinya dengan bingung.
"Nyari cewek, kan? Zaman sekarang mah sudah canggih. Nyari orang gambang. Asal punya foto dan namanya, bisa dicari lewat aplikasi. Kirim ke grup fotonya. Nanti infonya bakal nyebar. Omong-omong, siapa yang ilang?"
Aku menggeleng. "Nggak ada yang ilang," kataku ketus. Aku tak suka padanya, Namun, idenya boleh juga. "Kalau mau nyari cewek khusus juga ada aplikasinya?"
Dia tersenyum penuh arti.
Cepat-cepat, aku menambahkan, "Ini lho, anak temenku ngilang. Dia sih takut anaknya ikut pergaulan yang nggak baik. Makanya buat jaga-jaga aja, aku mau ngecek buat dia."
Tetanggaku masih tersenyum. "Sini aku downloadkan!" Dia menyahut ponselku.
"Aku cuma tulus mau bantu temenku, lho! Nggak yang aneh-aneh."
Dia mendecakkan lidah. "Iya, iya." Namun, senyum mencurigakannya masih terpampang. Setelah mengotak-atik ponselku sebentar, dia menyerahkannya padaku. "Nih, tinggal masukkan aja namanya. Nanti foto-foto ceweknya bisa kamu lihat, trus cocokkan dengan seleramu."
Aku memelotot. "Selera apa? Aku kan udah bilang kalau ini tuh--"
"Iya!" Dia menepuk bahuku, lalu mengangguk hikmat. "Aku nggak akan bilang apa-apa sama istrimu. Namanya laki-laki sudah biasa kayak gitu."
"Eh, kamu salah paham."
Dia mengedip singkat lantas pergi.
Menyebalkan!
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku menekuri ponselku. Mengetik Ceissa ke dalam kolom yang ditunjuk tetanggaku tadi, mengamati wajah-wajah dalam foto akun-akun yang muncul. Kutelusuri foto itu satu persatu, kuperbesar profilnya.
Tak lama istriku datang. Dia duduk di sampingku, di belakang etalase, melembarkan buku, kalkulator, dan bolpen. Dia membuat daftar stok dan menghitung laba.
"Mas," panggilnya. Matanya tak lepas dari kalkulator yang sedari tadi dipencet. "Mbok kamu jangan galak-galak sama Nier."
Aku mendecakkan lidah, tak menyangka topik itu yang akan diutarakannya. Biasanya dia mempermasalahkan uang. "Lha kenapa to, Dik? Aku tuh laki-laki, pernah muda. Aku tahu apa yang dipikirkan bocah itu sama anak kita dan aku nggak suka," jawabku sembari kembali memeriksa ponselku.
Kudengar desahan keluaran dari mulut istriku. "Nggak semua laki-laki itu sama sepertimu dulu lho, Mas."
"Halah!" Aku skeptis.
"Kamu nggak tahu, kan, gimana susahnya perasaan Nadia waktu kamu kabur?"
Aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Meski begitu, aku menjawab, "Kan udah kamu ceritain dulu. Yang katamu Nadia nggak mau keluar rumah itu, kan? Gara-gara si tetangga kita yang rese."
Dia meletakkan bolpen yang digunakannya untuk menulis. Matanya memandangku dengan serius. "Bukan hanya itu, Mas. Nadia sampai nggak mau makan. Aku sempat khawatir. Pas aku mengintip ke kamarnya, aku denger dia lagi teleponan sama Nier."
"Jam berapa teleponannya? Pasti malam. Kamu dengerin perckapan mereka, nggak? Isi obrolan mereka apa? Pasti mesum! Ya, kan?" cerocosku.