Udara terasa panas ketika empat pria asing berjejalan di tokoku. Mereka bukannya ingin membeli sembako, atau kebutuhan rumah tangga lain. Mereka mengepungku. Mereka berkata hampir bersamaan, yang membuatku bingung siapa dulu yang mesti kutanggapi.
"Apa-apaan ini, Pak? Kenapa Bapak memanggil polisi segala? Kami kan ke sini untuk menagih kewajiban Bapak," kata salah satu debt kolektor. Dari perkataannya, aku mengasumsikan bahwa dia telah salah paham. Dia mengira aku melaporkannya ke polisi.
"Selamat siang, dengan Saudara Yono, betul? Anda sebaiknya ikut kami ke kantor." Kini ganti polisi yang bersuara.
"Tunggu, tunggu, Bapak-Bapak," ujarku. Sebutir peluh menetes dari dahiku. Aku berbicara kepada para debt kolektor terlebih dahulu. "Saya tidak memanggil Bapak-Bapak dari kepolisian ini, Pak. Mereka datang ke sini entah untuk apa."
Debt kolektor itu mengulurkan tangan. "Kalau gitu, lebih baik, kita selesaikan urusan kita dulu. Tolong segera bayar utang Bapak, atau motor akan kami sita."
Aku melirik ke arah para polisi. "Bukannya tindakan ini tidak dibenarkan ya, Pak?" tanyaku kepada mereka.
"Benar. Namun, kami datang ke sini bukan untuk memberikan opini. Kami ingin menjemput Anda untuk dibawa ke kantor. Sebaiknya Anda tidak melawan."
"Tunggu dulu, Pak Polisi. Saya—"
"Maaf, Pak," sela debt kolektor yang tadi. "Biar tidak menganggu Bapak-Bapak dari kantor polisi, kami akan pergi. Tetapi, tolong bayar utang Bapak dulu. Berapa pun akan kami terima. Soalnya sejak berutang, Bapak belum mengangsurnya sama sekali."
"Tapi, saya nggak punya uang sekarang."
"Kalau begitu, tolong serahkan benda yang menjadi agunan kepada kami."
Dengan ngotot, aku menolak. "Kata Pak Polisi tadi itu melanggar hukum, lho, Pak."
Kemudian, para debt kolektor itu juga ngotot. Kami saling adu otot sampai para polisi menengahi. Mereka meminta para debt kolektor itu datang di lain hari.
Lastri yang mungkin mendengar keributan pun keluar ke toko. Matanya mengernyit saat melihat para tamu tak diundang tersebut. Melihat ada kesempatan, para debt kolektor meminta uang angsuran kepadanya. Dia menolak, dan malah menatapku galak.
Mungkin, karena tak sabar, salah satu debt kolektor tersebut merebut kunci motor yang tak sadar telah kugenggam. Mereka lantas keluar. Aku berniat mengejar mereka. Akan tetapi para polisi menahanku. Mereka memborgol tanganku.