Cat in The Trap

IyoniAe
Chapter #20

Bab 20

Apa polisi itu bercanda? Batinku bertanya ketika polisi yang menangkapku memberitahu penyebab kematian David. Dia mati karena menenggak racun. Dan yang lebih gilanya lagi, para polisi itu menuduh aku yang meracuninya. Itu benar-benar tidak masuk akal. Aku sungguh tak mengerti. Terakhir bertemu, dia baik-baik saja, hanya babak belur akibat pukulanku. Bagaimana bisa aku membunuhnya dengan rancun? Waktu ke apartemennya pun aku tidak membawa apa-apa. Mungkinkah ini ulah satpam apartemen tersebut? Bisa saja dia mendapati David mati, lalu dengan seenaknya menuduhku karena pertengkaran kami? Kalau memang begitu, aku menyesal tak menjotosnya tadi malam. Sialan.

Aku mendengkus, memandang polisi yang duduk bersamaku di jok belakang. Kulirik tulisan di dadanya. Rupanya, polisi itu bernama Aan. Tampangnya masih muda. Aku berpikir, seandainya dulu aku memilih masuk akademi polisi alih-alih berkuliah, tentu hidupku tak akan seperti ini. Orang-orang pasti juga akan menghormatiku. Namun, apa gunanya aku memikirkan pilhan hidupku sekarang? Semuanya sudah terlambat. Aku sudah menjadi tahanan.

Aku sempat menyangkal bahwa aku tidak meracuni David dan meminta mereka melepaskanku. Namun, yang kudapat malah, "Nanti jelaskan saja semuanya di kantor."

Jadi, percuma aku mengeluarkan suara dan tenaga untuk memberontak.

Setelah sampai di depan kantor polisi, aku segera dibawa ke sebuah ruangan sempit. Ruangan itu bercat putih. Lebarnya mungkin hanya dua atau tiga meter. Aan memintaku duduk di kursi dekat tembok, menyuruhku menunggu dan meninggalkanku di sana. Tanganku masih teborgol. Aku mencoba melepaskannya, tetapi semakin bergerak, borgol itu malan semakin mengerat, membuat kulitku lecet. Rasanya lumayan sakit.

Kuletakkan tangan di meja depanku, mengistirahatkannya dan berharap nantinya aku boleh meminta betadine untuk mengobati lecetnya. Kerongkonganku terasa kering. Aku bangkit dan mencoba membuka pintu tetapi rupanya terkunci. Aku mengintip jendela dan tak mendapati siapa-siapa di luar. Kuketuk pintu, berucap, “Permisi. Boleh saya minta minum?” beberapa kali, Namun, tak ada tanggapan. Aku kembali duduk dan menunggu.

Menit demi menit kulewati dengan gelisah. Rasanya, mendadak, ruangan itu menyempit, membuatku gerah dan tidak nyaman. Ponsel yang mulanya kukantongi diambil Aan sebelum pergi tadi. Dia juga menggeledahku.

Setelah rasanya seabad lamanya, aku bosan. Aku mengetuk pintu lagi dan berteriak, bilang kalau ingin pipis. Aku bahkan mengancam akan pipis di sana kalau tidak dibukakan pintu. Tetapi, tetap saja aku diabaikan. Alhasil aku kembali duduk, merengut dan kesal.

Tak lama setelah duduk, Aan membuka pintu. Dia masuk bersama seorang polisi yang lebih senior. Polisi itu tidak mengenakan seragam cokelat, melainkan kaus hitam ditutup jaket. Badannya gemuk dan tubuhnya lebih pendek ketimbang tubuhku. Rambutnya sudah beruban. Namun, matanya berkilat-kilat cerdas. Dia menatap penuh selidik padaku. Dia menarik kursi beroda dari luar ruangan, mendekatkannya ke arahku, kemudian duduk dengan nyaman.

Aan menutup pintu ruangan, lalu duduk di seberang mejaku. Dia mengeluarkan laptop, mengoperasikannya di meja.

“Sebelum mulai interogasinya, apa boleh saya minta minum?” tanyaku.

Bibir polisi senior itu mengerucut. Matanya mendelik menatapku, seolah-olah tengah mempertimbangkan usulku. “Nanti aja. Cuma sebentar kok.”

Dia lantas memperkenalkan dirinya. Namanya Pak Bambang. Dia adalah seorang reserse. Selain memperkenalkan diri, dia juga memberitahu bahwa apa yang akan aku katakan bakal masuk ke dalam BAP. Dia lantas membacakan waktu ketika dimulai interogasi itu keras-keras. Mungkin, percakapan kami direkam. Maka dari itu, aku berniat menjawab tak tahu saja. Aku takut kalau salah bicara. Kali ini, tak ada David yang dapat menyelamatkanku.

“Saudara Yono,” katanya memulai. “Anda tahu alasan dibawa kemari?”

Aku menggeleng. “Enggak, Pak.”

Kemudian, dia memberitahu kalau aku dibawa ke sana untuk dimintai keterangan terkait dua pembunuhan yang sama-sama melibatkanku. Yang pertama, tentang pembunuhan di hotel, tempatku menginap dulu.

“Dulu, saya sudah memberikan kesaksian bersama David,” komentarku.

“Saya tahu,” kata Pak Bambang ramah. “Tetapi, saya ingin mendengar sekali lagi dari Anda.”

Aku bersikeras bahwa pernyataanku sama dengan yang dulu dan tidak berniat mengubahnya.

“Jadi, Anda bersikukuh mengatakan sudah pulang sebelum korban ke kamar Anda?”

Aku mengangguk.

Kening Pak Bambang mengerut. “Dan Anda lupa mengembalikan kunci kamar?”

Kuanggukkan lagi kepalaku.

“Bukankah itu tidak masuk akal?” tanyanya lebih kepada diri sendiri. “Kalau memang Anda belum mengembalikan kunci ke resepsionis, bagaimana petugas memberikan kunci kamar itu ke korban saat chek-in?”

Lihat selengkapnya