Aku masih belum bisa percaya bahwa aku dituduh membunuh laki-laki asing di hotel itu. Terlebih, aku juga tak percaya polisi menuduhku membunuh David. Dia kawanku, pengacaraku, dan saat ini aku benar-benar membutuhkannya. Jadi, dilihat dari motif, tidak mungkin aku yang membunuhnya. Namun, kalau memang bukan aku, berarti Nadia. Sebab, dialah yang didapati mengirim madu yang telah tercampur racun ke apartemen David.
Aku benar-benar tak mengerti. Mungkinkah CCTV itu diedit? Kalau memang direkayasa, tentu para polisi akan tahu dan tak mungkin menyimpannya sebagai bukti. Lagi pula, untuk apa mereka menyudutkanku dengan bukti palsu? Itu tidak masuk akal. Keberadaan Nadia dalam CCTV itu pun tidak masuk di akalku. Rasanya, kepalaku mau pecah ketika memikirkannya.
Pak Bambang bertanya sekali lagi, apakah aku membunuh laki-laki di hotel itu dan David. Dengan linglung, aku menggeleng. "Saya nggak tahu, Pak. Sungguh."
Aku meminta bertemu dengan Nadia kepadanya. Namun, Pak Bambang tak mengizinkan. Dia menduga bahwa aku akan menciptakan rencana untuk membohongi mereka. Walau berjanji tak akan berbuat hal tersebut, tetap saja dia menolak keinginanku. Memang, saat ini aku belum ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, aku juga bukan saksi. Sebab, sebagian besar bukti mengarah padaku.
"Saya hanya ingin bertanya bagaimana Nadia mendapat madu itu, Pak? Sebab, saya nggak menyuruhnya mengirim apa-apa kepada David. Saya yakin."
Namun, Pak Bambang menjelasakan, "Nadia bersaksi bahwa Andalah yang menyuruhnya."
"Apa?" Mataku membulat. "Itu nggak mungkin."
"Menurut kesaksiannya, Anda menyuruhnya mengirimkan beberapa pesanan dari toko. Pesanan-pesanan tersebut kabarnya disiapkan oleh Anda sendiri?"
Aku mengernyit. "Maksud Bapak, madu itu ada bersama barang dari keranjang pesanan?"
Aku ingat pernah menyuruh Nadia mengantar pesanan pelanggan kemarin, sebelum belajar kelompok. Berarti, saat itulah dia mengirim madu itu ke apartemen David.
Pak Bambang mengangguk. "Sepertinya begitu."
Tunggu, tunggu. Pikiranku melayang, mengingat-ingat kapan aku menyiapkan madu untuk David. Dalam bulan ini, aku yakin tidak pernah memasukkan madu ke dalam keranjangan pesanan. Apakah mungkin Lastri yang melakukannya? Kalau memang begitu, untuk apa? Mungkinkah David memesannya lewat telepon? Tidak mungkin. David tak punya nomor toko. Kalau memang butuh sembako, dia akan menghubungiku lewat telepon pribadi. Namun, selama berteman, David tak pernah meributkan kebutuhan pokok. Dia selalu pesan katering. Kalau madu dan kebutuhan lain biasanya dia beli sendiri di supermarket.
"Apa mungkin Bapak salah. Bisa saja madu yang ada racunnya dibeli sendiri oleh David di supermarket, bukan madu yang dikirim anakku," jelasku.
Pak Bambang menggeleng. "Hanya ada satu botol madu di rumahnya."
"Mungkin yang punya saya sudah dibuang."
"Kami juga sudah mengecek tempat sampah."
Aku menggigit bibir lagi. Sialan. Namun, aku belum menyerah. "Apakah ada kemungkinan bahwa madu dari toko saya ditukar saat berada di tangan satpam apartemen, Pak?" tanyaku. "Pasti satpam itulah pelakunya. Mungkin dia memiliki dendam pribadi terhadap David, kemudian melimpahkan semuanya kepadaku."
"Itu masih kami selidiki. Tetapi, kemungkinannya kecil sekali. Sebab, dari CCTV, tampak satpam tersebut langsung membawa paket madu ke atas. Dia tidak memiliki kesempatan untuk mencampurkan racun ke dalam botol madu, atau pun menukar madu tanpa terlihat CCTV."
"Mungkin dia mencampur racun lewat suntikan. Kan kecil, jadi nggak kelihatan di CCTV."
"Tidak ada jarum suntik di apartemen tersebut, Pak Yono." Ada nada tak sabar dari Pak Bambang.
"Mungkin sudah dibuang," kataku ngotot.
"Kami juga sudah menyisir lingkungan apartemen. Tak ada apa-apa di sana."
"Tapi, tetap saja ada kemungkinan itu kan, Pak?" Aku bersikeras. "Saya bukan pembunuh."