Seperti yang kutakuti selama ini, di penjara itu tidak menyenangkan. Meski ada dua tahanan lain yang ditahan dalam sel yang sama denganku, mereka tidak babak belur sepertiku, tetapi tetap saja, sorot mata mereka ketakutan, sama sepertiku. Setelah luka-lukaku diobati sekenanya, aku dibiarkan di dalam sel. Sel itu bukan di dalam rutan, melainkan sel sementara di dalam kantor polisi. Sepertinya, para penyidik belum menetapkanku menjadi tersangka. Mereka butuh pengakuanku, dan tentu saja aku tak akan mengaku. Aku bukan pembunuh.
Menjelang malam, aku dikeluarkan dari sel. Kupikir mereka akhirnya menangkap tersangka yang benar, sehingga akan membebaskanku. Alih-alih, aku dibawa ke sebuah ruangan lain, yang sama seperti ruangan tempatku datang pertama kali ke sana.
Seorang wanita masuk ke ruangan itu. Usianya aku taksir sudah kepala tiga. Rambutnya pendek sebahu, dibiarkan terurai. Alisnya digambar melengkung dan malah membuatnya terkesan galak. Hidungnya mungil, dan bibirnya dipulas lipstik merah. Dia memakai blazer kelabu dengan kemeja putih. Pakaiannya tampak sangat formal.
Setelah duduk di seberang meja, dia memperkenalkan dirinya sebagai Nora, pengacara baruku.
"Pak David atasanku, asal kamu tahu," katanya tak acuh. "Aku terpaksa ke sini karena ada kontrak yang dibuat Pak David beberapa hari lalu."
Aku diam saja, bingung harus menanggapi apa.
"Kalau bukan karena profesionalitas, aku nggak mau membantumu. Toh, kamu yang bunuh pengacaramu sendiri," tambahnya.
Aku menggeleng. "Bukan aku yang membunuh David."
Namun, sepertinya omonganku tak dihiraukan. Sebab, ia langsung berkata, "Mari kita buat persidangan ini menjadi singkat aja. Masih banyak kasus yang mesti kutangani. Kantor lagi kacau banget karena ditinggal Pak David. Seharusnya kau tunggu dulu beberapa waktu sebelum membunuhnya, setidaknya sampai dia menyelesaikan sidangnya."
Aku mendecakkan lidah. "Bukan aku yang membunuh David."
"Terserah, deh," sahut Nora malas. Dia mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Beberap waktu kemudian, dia menyuruh, "Sekarang, coba kamu ceritakan, bagaimana caramu membunuh Deska."
Aku mengernyit. "Deska? Siapa Deska?"
Nora mengalihkan pandangannya dari layar kepadaku, lalu mendengkus. "Nggak usah pura-pura, deh! Kan sudah kubilang, mari kita buat persidangan ini singkat aja."
"Aku nggak kenal Deska."
Nora mendesah panjang. Ia memandangku tajam dan berkata, "Deska, lelaki yang kau bunuh di hotel."
Aku menggebrak meja. Kesabaranku sudah habis. "Bukan aku yang membunuh Deska. Aku juga nggak membunuh David. Sebenarnya, kamu itu pengacara atau jaksa sih? Kok malah menyudutkanku?"
Dia mendengkus. "Apa begini, perlakuanmu terhadap Pak David dulu? Udah dibantu, gratis, bentak-bentak pula! Kalau aku mundur dari kasus ini, habis sudah riwayatmu. Kau bakal divonis seumur hidup."
Setelah berbicara seperti itu, Nora bangkit. Ia menutup laptopnya dan berniat pergi. Terpaksa, kutahan amarahku. Saat ini hanya dia harapanku supaya lolos dari hukuman mati. Seumur hidup sama dengan hukuman mati bagiku. "Maaf-maaf," kataku mencegahnya memasukkan laptop ke tas. "Kumohon, maafkan aku. Aku kesal karena kamu nggak percaya padaku. Tapi tolong, percayalah sekali ini saja. Aku nggak membunuh siapa pun."
Nora meniup poninya, lalu kembali duduk. Raut wajahnya tampak kesal. Aku jadi teringat istriku ketika dia kesal karena aku meminta uang terus. Aku lantas mencoba merayunya seperti merayu istriku.