Polisi juga tak menanggapi permintaanku keesokan harinya. Mereka malah memindahkanku ke rumah tahanan. Setelah dipindah ke dalam rutan, aku ditempatkan bersama empat tahanan lain dalam satu sel. Di sana tidak seperti yang kubayangkan. Setidaknya ada kasur lipat yang dapat kugunakan untuk tidur. Di sel juga ada kamar mandi. Walau tertutup, tetap saja baunya pesing. Ada rak di dinding atas, tempat para tahanan menyimpan barang-barang mereka. Namun, tidak semua barang diizinkan masuk ke sana. Sebelum masuk ke rutan tersebut, aku diperiksa secara menyeluruh.
Karena aku belum divonis, maka aku ditempatkan di rutan milik polda. Hari pertama kulalui dengan lancar. Tidak ada pertengkaran. Malahan, semua tahanan yang sekamar denganku hampir semuanya pendiam. Mereka bertanya kepada polisi yang membawaku ketika masuk, apa kesalahanku dan polisi itu menjawab pembunuhan. Lalu, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing seperti tidur-tiduran.
Tak berapa lama, seorang lelaki datang, diantar polisi lain. Dia masuk ke sel sebelahku. Aku sempat mendengar para tahanan bertanya apa kesalahannya, dan polisi itu menjawab pemerkosaan. Setelah polisi itu pergi, aku mendengar pukulan, tulang patah, dan suara tertahan dari sel sebelah.
"Di sini, pemerkosa adalah pangkat paling rendah," cetus salah satu teman satu selku. Aku merinding mengetahuinya.
"Kamu sendiri, apa tuntutanmu?"
"Sarapan bubur."
Aku lantas mengernyit sebentar, kemudian paham. Dulu ada sebuah lagu yang diperkenalkan oleh penyanyi nyentrk Alan. Dalam liririknya ada frasa sarapan bubur yang kalau disingkat menjadi sabu. Aku lantas menatapnya mengeluarkan rokok, kemudian menyulutnya. Aku sedikit terkejut. Sebab, rokok merupakan salah satu benda terlarang yang tidak boleh dibawa tahanan. Rokok dan pematikku disita ketika pemeriksaan tadi. "Kok kamu bisa mendapat barang itu?" tanyaku.
Dia mengembuskan asap dengan nikmat sebelum menjawab, "Kalau punya uang mah gampang." Dia menawarkan rokoknya padaku dan bodoh sekali kalau kutolak. Aku lantas menyesapnya tiga kali sebelum kukembalikan. Seketika, aku merasa lebih rileks. Rasanya semua kekhawatiran, beban, dan pikiran yang mengusikku beberapa hari ini lenyap. Aku bahkan seperti di awang-awang.
Pada hari kedua, sama saja. Aku mulai berkenalan dengan tahanan lain. Aku sempat meminta izin salah seorang polisi untuk menelepon Nora, tetapi dia malah memarahiku. Katanya tak ada keistimewaan semacam itu di sana. Sorenya, seorang polisi yang mengantarku datang dan membuka sel. Dia menyuruhku keluar. Kupikir, keluar artinya bebas. Namun ternyata, aku disuruh keluar karena mendapat kunjungan.
Kunjungan yang pertama adalah dari Lastri. Dia bersama Nier. Aku heran, mengapa pemuda cecunguk itu mau jauh-jauh mendatangiku di rutan? Apa dia ingin mengejekku?
"Nier yang ngantar aku. Kan motorku diambil debt kolektor," kata Lastri seolah tahu isi kepalaku. Kami bertemu di sebuah rungan khusus untuk pengunjung. Saat ini tidak ada siapa-siapa di sana kecuali kami. Meski begitu, seorang polisi menjaga depan pintu.
Benar juga, batinku. Aku lantas tersenyum ketika istriku membawakanku rantang makanan. Makanan di rutan tidak enak.
"Nggak usah cengar-cengir!" sahut Lastri. Ia tampak kesal. "Katamu kau cuma saksi, kok tiba-tiba ditahan? Sebenarnya, apa yang kamu lakuin di hotel?"
Aku membuka rantang, dan mulai menikmati makanan kirimannya. Aku tahu, meski Lastri kesal, tetap saja dia mau repot-repot mengirimiku makanan. Dia pasti sangat menyayangiku. "Aku dijebak," kataku sembari mengunyah.
Kening Lastri mengernyit. "Dijebak gimana?"
Aku melirik Nier yang duduk di samping istriku.
"Oom mau aku keluar?" tanyanya berhasil menebak keinginanku.
"Halah!" Lastri menimpali. "Kamu di sini aja. Aku udah anggap kamu anak sendiri." Dia lantas memelotot padaku. "Kalau nggak ada Nier, Nadia bisa depresi. Kamu tuh, sebagai bapak nggak pengertian banget. Bisa-bisanya lho anak sendiri disuruh ngirim racun."
Aku tak tahu bagaimana Lastri bisa tahu semua. Mungkin, polisi sudah memberitahunya, atau malah Nora. "Bukan aku, Dik, yang ngirim racun itu."
"Lah, kan kamu yang menyiapkan pesanan itu sendiri?"
"Aku nggak merasa mengirim madu untuk David," bantahku.
"Kalau gitu, siapa? Aku?" Lastri memandangku sinis. "Waktu aku jaga, nggak ada pesanan baru yang kuterima."
"Kalau begitu, mungkin ada orang yang ke sana, pura-pura beli sesuatu dan naruh madu itu ke keranjang."
Lastri menoleh ke arah Nier. "Kamu kan yang ngantar Nadia waktu itu. Nah, apa kamu yakin yang dikirim Nadia itu madu?"
Nier menggeleng. "Nggak tahu, Tante. Aku cuma nganter aja. Nadia yang bawa paketnya. Aku cuma dikasih kertas alamatnya aja."
"Polisi juga nanyai kamu, kan?" tanyaku.