Sidang pembacaan dakwaan kulalui dengan pikiran kosong. Aku tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh hakim, jaksa, maupun pengacaraku. Aku seperti manusia di tengah para alien. Aku kesulitan memahami perkataan mereka. Walau pernah berteman dengan David yang seorang pengacara, tetap saja aku termasuk awam dalam ranah hukum. Dulu mata kuliahku pun bukan di bidang hukum. Jadi, aku terpaksa menyerahkan semuanya kepada Nora.
Pikiranku kosong bukan hanya karena sidang, tetapi juga karena beberapa kabar yang kuterima sebelum sidang tadi.
Kabar pertama datang dari istriku. Dia datang untuk memberi dukungan pada sidang pertamaku itu. Dia tidak sendiri, tetapi bersama Nadia dan Nier. Lastri bilang, mereka sengaja meminta izin tidak sekolah demi bisa menemaniku. Aku sedikit terharu, walau dalam hati bertanya mengapa Nier juga ikut. Padahal, dia bukan keluargaku. Namun, saat kulihat dia menenangkan Nadia yang terisak, aku tak mengeluh.
Sebelum sidang mulai, mereka diizinkan bertemu denganku di sebuah ruangan. Aku pilu melihat tubuh anakku yang semakin kurus saja. Tulang pipinya sampai tampak sedikit menonjol. Pergelangan tangannya menyusut. Matanya juga tak secermelang biasanya. Dia pasti stres karena terseret dalam kasus ini. Selain itu, dia juga pasti takut menghadapi polisi yang berulang kali menginterogasinya. Teman-teman maupun tetangga juga mungkin membulinya. Di tengah gempuran mental yang dilalui, dia meminta maaf padaku karena telah menyebabkan aku dipenjara. Hal itu membuatku sangat terenyuh.
"Nggak, Sayang," kataku mengelus rambutnya yang halus. Mataku berkaca-kaca dibuatnya. "Bukan kamu yang salah, tapi orang yang menjebak Bapak-lah yang salah. Udah, nggak apa-apa. Bapak bukan pembunuh. Bapak yakin pasti akan bebas. Kita bisa sama-sama lagi. Oke?"
Aku lega ketika Nadia mengangguk. Matanya masih berkaca-kaca. Ia lantas merebahkan kepalanya ke pundak Nier yang duduk di sampingnya. Hal itu membuatku berpikir, apakah sebegitu butuhnya anakku kepada pemuda itu? Rasanya aku sedikit khawatir. Namun, saat melihat sang pemuda berbisik, menguatkan anakku, aku sedikit lega. Mungkin, Nier bukanlah pemuda urakan seperti yang kupikirkan. Aku mulai menaruh kepercayaan padanya.
Aku lantas beralih pada Lastri. "Gimana? Kamu udah cari tahu tentang tetangga kita?"
Isriku menggeleng. "Kayaknya bukan dia, Mas."
Aku sedikit terhenyak. "Bukan gimana? Kan sudah jelas itu?"
"Aku dan Nier sempat mengorek sewaktu kita pulang kemarin. Pak Randi memang mengaku sebagai kakaknya Pak Dandi, tetapi sudah sejak lama mereka enggak berhubungan lagi."
"Alah!" sahutku. "Dia pasti berbohong."
Istriku mendesah. Bahunya melorot. "Tetap saja, waktu pembunuhan yang di hotel itu terjadi dia memiliki alibi."
"Hah? Kok bisa?"
Lastri menoleh pada Nier, meminta bantuan untuk menjelaskan. Bahkan sekarang istriku pun mulai mengandalkan pemuda itu.
"Begini, Oom," katanya memulai. "Kemarin aku nyuruh Tante pura-pura kecewa karena malam itu--waktu Oom nggak pulang dulu, waktu pembunuhan di hotel itu--Tante ke rumahnya dan nyariim dia tetapi nggak ketemu. Nah, dia menjawab kalau malam itu dia lagi ke rumah mertuanya di luar kota. Mereka menginap tiga hari karena ada hajatan. Nah, seandainya dia yang membunuh, butuh waktu lama untuk bolak-balik dan nggak mungkin bisa ke warung keesokan harinya. Kata Tante dia ke warung sehari setelah Oom nggak pulang itu."
Aku mengingat-ingat. Bahuku merosot ketika ingat dia datang ketika aku sempat tertidur di toko. "Sepertinya malam hari setelah aku nggak pulang dia ke toko, beli gula."