Sebagai pengacaraku, sebenarnya Nora sudah bertindak secara maksimal. Walau dia sempat menolak mentah-mentah keinginanku untuk mengajukan eksepsi, tetap saja ketika hakim bertanya dia maju, berdiskusi dengan jaksa dan hakim sebelum menjawab. Setelah beberapa waktu, dia menggeleng singkat padaku. Rautnya tampak kecewa. Tak lama kemudian, dia menjawab bahwa kami tidak mengajukan eksepsi.
Saat mengantarku kembali ke penjara, dia berkata, "Aku sudah mencoba mendiskusikan tentang eksepsimu kepada jaksa dan hakim. Mereka bilang, kita hanya akan menjadi badut kalau melakukan eksepsi. Segala prosedur dalam mendapatkan bukti-bukti itu dilakukan secara sesuai. Aku benar-benar nggak punya celah. Sepertinya sangat sulit membebaskanmu. Jadi, jalan satu-satunya agar kita menang adalah dengan mengakui pembunuhan itu. Aku akan berusaha maksimal meyakinkan juri kalau kedua pembunuhan itu atas tindakan ketidaksengajaan sehingga kamu mendapat hukuman ringan alih-alih seumur hidup."
Aku menunduk. Mobil yang membawaku berguncang-guncang, membuat kepalaku pusing. "Apa nggak ada sedikit pun harapan?"
"Hakim kali ini termasuk hakim yang lembut. Itu saja seharusnya membuatmu beruntung. Namun, buktimu terlalu kuat. Jaksa menuntut hukuman seumur hidup karena kau dianggap merencakan kedua pembunuhan itu. Jadi, kumohon, mengertilah posisimu."
Aku paham. Hanya saja .... Aku benar-benar putus asa. "Seandainya aku nggak mabuk, mungkin aku bakal ingat pembunuh Deska sebenarnya," gumamku.
Nora memutar bola mata. "Justru karena kau mabuk, aku jadi bisa mendapat celah dalam pembelaan nanti."
Aku mendesah. Rupanya, satu-satunya harapan kami akan menang adalah dengan mengakui tindak pembunuhan itu.
Sebelum sidang selanjutnya digelar, aku menjalani kehidupan penjaraku dengan cukup tenang. Walau makanan yang kudapat tidak seenak buatan istriku, aku masih bisa menelannya. Entah kenapa, di sini rasanya malah tenang. Meski aku tak bisa bebas melakukan apa yang kuinginkan, dengan mengikuti jadwal-jadwal yang sudah ditentukan, aku tidak bosan. Teman-teman satu selku juga baik, walaupun ada saja satu atau dua pengacau. Pak Sipir juga memperlakukan kami dengan selayaknya, bukan seperti pada film-film yang kutonton tentang kengerian di penjara.
Di tengah penatianku pada sidang selanjutnya, Lastri mengunjungiku. Kali ini ia menemuiku sendiri. Ia sudah menebus motor dari pegadaian. "Nggak ada kamu di rumah malah enak, nggak nambah-nambahi beban," katanya.
Aku tertawa kaku, berharap dia hanya bercanya bicara seperti itu.
"Mas," panggil Lastri melipat tangannya di meja. Matanya menatapku dengan serius. "Sebenarnya, kamu beneran bunuh orang-orang itu nggak sih?"
"Ya ampun, Dik. Masa sama suami sendiri nggak percaya?" jawabku.
"Kamu kan tukang bohong," sahutnya yang membuat hatiku mencelus.
"Aku bukan tukang bohong, Dik. Cuma sekali-sekali aja bohongnya."
Dia memutar bola mata sejenak. "Sama aja."
Kami lantas terdiam sebentar. Aku tahu dia ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi entah apa yang menahannya. Aku tahu dari gerak-geriknya yang gelisah. Sudah puluhan tahun kami bersama, jadi aku paham wataknya. Aku berdeham sebelum berkata, "Ngomong aja, Dik."
Dia tersenyum sekilas. "Tahu aja." Dia lantas beringsut di kursi, memajukan tubuhnya. "Begini, Mas. Aku punya teman. Nah, bapaknya ini seorang hakim, tetapi bukan hakim yang menangani kasusmu. Kemudian, aku berkonsultasi dengannya perihal kasusmu ini."
Keningku berkerut. Aku memandangnya serius. Dalam hati aku tak menyangka istriku memiliki kenalan seorang hakim. Rasanya kok mustahil. "Teman yang mana?"
"Ada deh, pokoknya," jawabnya. "Nah, katanya—"
"Kok aku nggak tahu ada temanmu yang memiliki ayah seorang hakim?" Aku begitu penasaran hingga memotong ucapannya.
Tampak kemarahan di wajah istriku. "Memangnya aku harus mendata siapa aja temanku lalu melaporkannya padamu?"