Kata orang, jika kau memiliki uang, hidupmu bakal enak. Kau bisa membeli apa pun, termasuk kebebasan. Hal itu berlaku juga di penjara ini. Entah di penjara lain, tetapi di sini, tempatku dihukum kurungan, ada beberapa oknum yang memberikan suatu fasilitas tertentu terhadap napi yang sudi membayarnya. Fasilitas tersebut salah satunya ialah kunjungan spesial. Alasan dikata spasial adalah kita diberi privasi penuh saat kunjungan berlangsung dan dapat melakukan sesuatu yang spesial dengan pasangan, gadis panggilan, dsb di ruangan yang disediakan. Tak ada CCTV yang menyorot, tak ada suara gaduh yang bakal terdengar, dan para sipir meninggalkan kita sepenuhnya. Itu merupakan suatu kebebasan bagi kita.
Aku terkejut ketika suatu hari dipanggil seorang sipir. Dia memberitahu bahwa aku mendapat kunjungan spesial. Aku merasa aneh karena aku tak pernah punya cukup uang untuk membayar fasilitas tersebut. Namun, tetap saja, siapa yang tak mau merasakan fasilitas seperti itu secara gratis?
Kupikir, istriku yang mengunjungiku. Namun, ketika aku sampai ke ruang kunjungan spesial, gadis itu menungguku. Dia duduk di sebuah sofa panjang, menyilangkan kakinya yang panjang dan merentangkan satu tangannya ke sandaran. Rambutnya yang panjang tergerai sampai ke pinggang, sebagian menutupi pipinya dari samping. Mulanya, aku tak mengenalinya, namun setelah sipir yang mengantarku menutup pintu di belakangku dan aku mendekat menghampirinya, mulutku menganga. "Ka-kamu!"
Dia mendongak, tersenyum melihatku. "Apa kabar?"
"Apa kabar?" beoku kesal. Dari sekian banyak sapaan, dia bertanya apa kabar padaku? Benar-benar tidak bisa dipercaya!
Dengan tangannya yang gemulai, dia menepuk sofa di sampingnya, menyuruhku duduk di sana. "Santai aja. Kita ngobrol-ngobrol dulu."
Aku mendengkus, tetapi duduk juga, sedikit lebih jauh darinya. "Santai-santai, gundulmu!" Aku masih kesal. "Kemana kamu selama ini? Aku mencarimu terus. memangnya kamu nggak tahu kalau aku dituduh membunuh?"
"Tahu, kok!" katanya cekikikan. Suaranya masih seperti yang kuingat dulu, sedikit sengau. Namun, wajahnya tampak berbeda. Cantiknya sih sama seperti dulu, ketika aku melihatnya di bar. Tetapi, riasannya yang sekarang lebih tebal. Bibirnya merona. Dia tampak aneh jika dikatakan sebagai gadis. Seharusnya dulu aku sadar detail itu sehingga tak kasihan dan menganggapnya seolah Nadia. Dengan begitu, aku tak akan tertarik berbincang padanya dan semua ini tak bakal terjadi. Aku yakin alkohol telah mengaburkan pandanganku.
"Kalau memang tahu, mengapa kamu nggak muncul? Mengapa kamu nggak bersaksi bahwa bukan aku yang membunuh pria itu? Kamu satu-satunya orang yang tahu apa yang terjadi. Mengapa? Apa ada orang yang membayarmu untuk diam?" cecarku.
Alih-alih menjawab, dia hanya tersenyum. "Mau kuberitahu yang terjadi sesungguhnya?"
Aku meliriknya sinis. "Untuk apa? Toh, aku sudah terlanjur dipenjara! Kecuali kamu mau lapor ke polisi."
Dia mendengkus. "Yah, gimana, ya? Lapor pun percuma. Memangnya kamu nggak ingat? bener-bener nggak ingat? Bukannya kamu sendiri yang menusuk pria itu?"
Mataku langsung terbelalak. "Apa? A-aku?"
"Iya!" katanya mengubah posisi duduk.
Jantungku berdegup kencang sekali. Aku takut mendengar kebenaran itu. Namun, benarkah dia berkata jujur? Kalau memang aku yang membunuhnya, mengapa aku tak ingat kapan Deska masuk ke kamar? Seberapa keras aku memeras otak, ingatanku berhenti pada waktu aku dan Ceissa minum-minum di kamar. "Nggak mungkin. Kau pasti berbohong."
Dia terkikik. Hal itu membuatku tambah kesal.
"Kamu kan bisa berbohong, masa aku nggak boleh," katanya.