Pantas saja aku merasakan sebuah kenyamanan ketika berbicara dengan Ceissa. Pantas saja aku memiliki perasaan yang menganggapnya seperti anakku. Pantas saja dia tampak seolah mengerti aku sepenuhnya. Sebab, dia memang mengenalku. Dan aku pun mengenalnya.
"Sudah bertahun-tahun aku merencanakan semua ini," katanya menghapus alis yang digambar rapi sebelumnya. "Hingga malam itu, aku memutuskan aku telah siap melaksanakan rencanaku."
Kenapa? Aku hanya mampu bertanya dalam hati karena mendadak mulutku kelu.
"Aku mencari kesempatan untuk mendekati David sebelumnya."
"Ka-kau ju-juga--" Ucapanku tergagap karena syok.
"Mengenal David?" tebaknya. "Oh, ya, tentu. Jika aku ingin masuk ke lingkaran pertemanan Deska, aku perlu masuk ke lingkaran pertemanan David dulu. Apa kamu nggak diberi tahu David kalau dia adalah pengacara Deska?"
Aku menelan ludah dengan susah payah. Kulihat Ceissa menghapus riasan matanya. Meski begitu, bulu matanya tetap lentik.
"Sejak menangani kasus itu, dia dikontrak penuh sebagai pengacara keluarga Deska. Kariernya menanjak pesat. Orang-orang penting di negeri ini mulai meliriknya. Apa kau nggak iri? Pasti iri, kan? Makanya kamu memerasnya." Dia menekuk kapas sebentar sebelum mulai menghapus riasan matanya lagi dengan itu. "Sebagai pengacaranya, David sering kali kesulitan menutup-nutupi masalah yang ditimbulkan oleh kliennya satu itu. Terutama soal kelainan seksnya. Hingga kadang, Davidlah yang mengenalkan orang-orang sepertiku kepadanya agar nggak menimbulkan masalah. Kau tahu, kelanian seksual apa yang dideritanya?"
"Deska LGBT?"
Ceissa mendengkus. "Bukan," jawabnya. "Dia seorang biseksual. Dia senang berfantasi berlebih. Seandainya fantasinya tidak merugikan orang lain, hal itu menjadi wajar. Tetapi kadang, dia melakukan hal-hal yang menyakiti pasangannya saat bercinta. Nggak jarang dia menganggap semua pasangannya suka dengan perlakuan kasar. Jika pasangannya bersedia menerima konsekuensi tersebut, sekali lagi hal itu nggak menjadi masalah. Namun, sering kali Deska mendapat tuntutan. Kalau sudah begitu, siapa yang menutupinya?"
"David," jawabku otomatis.
"Yup!" Ceissa mengambil kapas lagi, membasahinya dengan sesuatu sebelum menggunakan itu untuk menghapus lipstiknya. "Kebanyakan PSK wanita nggak bersedia menjadi pasangannya di ranjang. Jadi, David segera mengenalkanku kepadanya begitu dia kuberitahu kalau aku bersedia memberi pelayanan seperti itu. Apalagi aku cantik. Tubuhku pun bersih. Kau bahkan nggak tahu kalau aku bukan gadis tulen sebelumnya, bukan?"
Dia melanjutkan, "Sangat mudah masuk ke circle pertemanan David. Aku tinggal mencegatnya di depan bar, pura-pura ingin masuk ke sana. Kau tahu, selain 'anak' Mami Sally, nggak ada yang boleh mejeng di sana."
Kuakui dia memang cerdik sampai satpam bar mengira Davidlah yang membawanya. "Bagaimana kamu tahu tentang kelainan seksual Deska? Apa kamu pernah melayaninya? Cih!" Aku mendecakkan lidah dengan jijik. "Jadi, kamu membunuhnya karena dendam dulu pernah menjadi korbannya?"
Dia tergelak. "Aku cowok normal. Aku rela belajar merias agar dapat menjebaknya. Aku nggak ada niatan menjadi mainannya. Maka dari itu aku membunuhnya sebelum dia menyentuhku. Perihal bagaimana aku tahu kelainan yang diidapnya, itu gampang. Aku mengadibkan diriku untuk membunuhnya, membunuh kalian. Sepuluh tahun kuhabiskan untuk mencari tahu kelemahan kalian."
Aku tersentak sebentar. "Tapi, kenapa?" tanyaku. "Apa salahku padamu?"