Seperti kataku sebelumnya, bahwa di sini aku mendapat lingkungan yang baru. Aku tak perlu repot-repot bertengkar dengan teman-teman brutal seperti pada kelas sebelumnya. Ya, meskipun di sini masih ada saja teman rese yang menjadi musuhku. Sepertinya semua pria adalah musuhku. Entahlah aku juga bingung ada apa denganku.
Di masa ini aku mengenal yang namanya dicintai. Dikejar-kejar setengah mati. Dalam benakku berkata, “berani-beraninya dia menyukaiku.” Di sini pula aku bertemu dengan Barata. Pemuda kurus yang tengil itu gayanya. Dia teman sekelasku.
Kami tak pernah berkenalan layaknya orang-orang, seperti “Hai namaku Sara, namaku Bara.” Kami saling mengenal sebab teman-teman kami yang memanggil.
“Oh, itu namanya Barata.”
“Oh, itu yang namanya Sara.”
Tapi, bukan dia yang menyukaiku.
Pemuda itu namanya Nala. Dia adalah pemuda seangkatanku. Dia seorang ketua organisasi pramuka. Aku sebelumnya tak pernah mengenalnya. Kami tak sengaja dipertemukan saat akan pentas seni. Aku dan dia ditugaskan untuk menjadi pasangan menari. Pun dengan teman-temanku lainnya. Semuanya memiliki pasangannya masing-masing.
Sejak dari situ kami saling mengenal. Sebenarnya aku tak punya perasaan apapun padanya. Aku bahkan menolaknya saat dia menembakku di dekat gerbang sekolah. Ya, aku tidak diperbolehkan untuk pacaran oleh orang tuaku. Bahkan sekadar berteman pun tak boleh.
Kemudian saat kegiatan pramuka, di situ lah rasa marahku timbul. Aku tidak senang dengan apa yang terjadi di sana.
“Kemarin ada yang habis ditembak sama ketua, ya? Siapa nih orangnya?” tanya salah satu kakak dewan.
Aku hanya diam dengan muka datar. Berlagak seolah-olah tak tahu apapun.
“Katanya di tolak ya, La? Namanya Sara bukan?”
Seketika semua mata tertuju padaku yang saat itu duduk paling belakang. Ya, hampir semua angkatan saling mengenal. Dan kebetulan juga di angkatanku yang namanya Sara hanya aku saja.
Sejak saat itu, aku dikejar-kejar oleh teman-teman Nala. Memintaku membuka pintu hati dan memberikan kesempatan pada Nala. Mereka semua membaik-baikkan sosok Nala. Dan karena jenuh dengan ajakan dan rayuan mereka, akhirnya aku mengiyakan untuk mencoba menjalin hubungan lebih dekat dengan Nala.
Aku melanggar perintah orang tuaku untuk tidak pacaran. Awalnya tentu antara aku dan Nala berjalan baik-baik saja. Masih manis di awal. Kami juga satu grup olimpiade matematika. Nala tahu bahwa aku menyukai matematika. Sehingga dia yang merekomendasikanku.
Aku kerap kali kepergok chatting dengan Nala ini. Dan Ibuku yang melihatnya, tanpa bertanya apapun langsung merampas hp-ku dan disita. Bahkan, pernah suatu ketika hp itu harus dibanting begitu keras sampai berkeping-keping jadinya.
“Hp-mu bu sita. Jangan macam-macam kamu, ya! Ibu laporin kamu ke Ayah, habis kamu.”
Aku hanya pasrah, karena aku tak ingin semakin memperkeruh suasana. Apalagi aku tahu, bagaimana ayahku saat marah.