Saat naik kelas 9, kelas kembali diacak. Kali ini tidak ada kelas unggulan. Semuanya sama. Tapi, naasnya aku harus sekelas lagi dengan sebagian para brutal-brutal sekolah itu. Sudah bisa ditebak, setiap hari di kelas akan penuh dengan perdebatan-perdebatan dengan mereka.
Lalu, bagaimana dengan hubunganku? Aku masih nekad berhubungan dengan Nala. Setahun berlalu, hubunganku dengan Nala masih baik-baik saja. Di tahun kedua inilah, masalah mulai muncul. Apalagi di tahun ini, kita punya adik kelas baru. Saat itu aku memergoki Nala sedang memegang pipi salah satu adik kelas di sanggar tempat dia biasa rapat organisasi.
Aku yang saat itu akan melewati sanggar, segera membalikkan badan dan pergi tanpa sepatah kata pun. Nala memanggilku dan mengejarku.
“Sara!” teriaknya.
Aku tak menggubrisnya.
Malamnya dia meneleponku berusaha menjelaskan apa yang telah aku lihat siang itu.
“Sara, maaf.”
“Maaf untuk apa?”
“Ya, tadi. Yang kamu lihat di sanggar.”
“Oh, maksudnya apa itu?” tanyaku dengan suara ketus.
“Ya, aku pegang pipi dia. Habis kamu nggak mau aku sentuh sih.”
Seketika aku yang mendengar itu langsung menutup teleponnya.
“Apa maksud Nala itu. Hanya karena dia pacarku lalu dia bisa menyentuhku begitu? Hah, sh*t!” aku bergumam dengan diriku sendiri.
Lalu, aku menelepon sahabatnya.
“Cha, tolong dong sahabat lo itu maksudnya apa sih? Dia nggak bisa mikirin perasaan wanita ya kalau lihat begituan? Apalagi dia alasannya karena nggak bisa nyentuh gue. Lo bilangin aja deh tuh sahabat lo. Maksudnya apaan coba?”
“Hah, yang bener, Sar? Ya, deh gue marahin dia habis ini.”
“Oke,” pungkas Sara dan kemudian menutup teleponnya.
Esok harinya di sekolah, adik kelas itu menghampiriku di kantin. Dia memelukku dari belakang dan mencoba menjelaskan juga.
“Kak Sar, maaf ya. Kak Nala sama aku nggak ada apa-apa kok. Kami cuma kayak kakak-adik doang. Maaf ya kak, please.”
“Hahaha. Iya-iya. Yaudah aku mau makan dulu,” jawabku dengan tawa palsu.
“Seneng banget jadi cewek bisa disentuh-sentuh gitu,” gumamku dalam hati.
“Siapa sih Sar?” tanya temanku.
“Ah, bukan siapa-siapa. Hanya adik kelas nggak penting. Udah makan-makan.”