Catatan 20 Tahun

Chin Pradigta
Chapter #18

Masa Paling Ku Benci

Gemerlap lampu dalam kegelapan. Dihadari para manusia pencari kesenangan. Para penyidap luka, para orang yang terampas kebebasannya, para manusia yang penat akan kehidupannya, semuanya berada di sini. Bermabuk-mabukan, menari-melompat kegirangan, seolah semua beban terasa tertanggalkan. Aku berada di tengah-tengah mereka malam itu.

Di usia remajaku ini, 16 tahun, seharusnya aku tak berada di sana. Tapi, beban kepahitan yang ku rasa membawaku ke sana bersama kekasihku, Nala. Aku yang biasa disebut sebagai anak rumah ini, tanpa sadar terseret terlalu jauh keluar dari batas norma.

Nala masuk ke dalam kesempatan ruang waktu saat diriku tak sadar sedang dimabukkan dengan gemerlap keasyikan yang ada.

*Deg.

Seketika jantungku berhenti berdetak, kakiku kaku, saat bibir itu saling bertemu. Tangannya mencoba menyentuh bajuku dan ingin segera menyentuh tubuhku yang lain. Sontak saja tanganku segera menghempaskan tangannya.

*Plakkk

Aku menamparnya keras. Kami bertengkar hebat di sana.

“Apa-apaan maksudmu?”

“Kita udah SMA, Sar. Masak pacaran cuma sekadar gandengan tangan doang.”

“Gila lo! Sarap ya lo? Gandengan tangan aja gue nggak akan mau bego. Gue emang yang bodoh kemakan omongan lo yang kotor itu.”

“Ya, kan yang aku omongin emang benar.”

“Benar apanya bangk*. Salah semua. Udahlah kita putus!”

“Kalau kamu keluar dari tempat ini, aku akan bunuh diri.”

“Bodo amat. Terserah lo!”

“Sar, Sar, tunggu!”

Nala pernah mengatakan padaku bahwa bergandengan tangan itu tak dosa. Dan saat aku bertanya, “Kenapa Tuhan melarangnya?” Ia menjawab bahwa kalau Tuhan mengizinkannya maka perzinaan di dunia ini akan dilakukan dengan sebebas-bebasnya.

Karena imanku yang tidak kuat, ibadahku yang kurang, atau bahkan aku yang terlalu jauh dari Tuhan, membuatku dengan mudah termakan omongan tidak masuk akal Nala. Nala berani menggandengku, memelukku, dan puncaknya hampir melakukan tindakan di luar batas norma itu.

Aku segera keluar dari tempat setan itu dan berlari dengan cepat agar ia tak sampai menangkapku. Meski pun sempoyongan, aku masih bisa berlari dan selamat karena tak sempat meminum minuman yang ada.

Setelah cukup jauh darinya, aku terisak-isak menangis. Aku seperti kehilangan diriku sendiri, memukul-mukul kepalaku, memukul tubuhku, menampar wajahku, mengusap-usap mulutku. Aku benar-benar merasa hina dengan apa yang telah terjadi. Aku terus bertanya-tanya mengapa aku sampai bisa berada dalam keadaan ini, dan banyak hal lain yang mengganggu isi kepalaku waktu itu.

“Dasar Sara bodoh! Bodoh!” umpatku pada diriku sendiri.

Saat hendak menyeberang jalan, ada cahaya putih begitu terang dengan suara klakson yang begitu kencang. Aku yang terfokus pada kegelisahanku, seperti tak menyadari dengan sekitar. Dan...

Lihat selengkapnya