“Kenapa menangis?” tanya Sara pada Kayla.
Ya, saat itu Sara sedang menceritakan kisahnya pada Kayla di sebuah taman. Kali ini tidak ada Bara. Hanya mereka berdua saja.
“Aku nggak pernah menyangka bahwa kehidupanmu akan sangat jauh terbalik dengan kehidupanku. Itulah sebabnya aku menangis,” jawab Kayla sambil mengusap-usap air matanya.
"Aku memang kadang kurang bersyukur hidup di tengah keluarga yang bahkan terus mencoba memahamiku. Tapi, aku jarang sekali belajar memahami mereka," sambung Kayla.
Sara hanya membalas senyum dan mengusap-usap punggung Kayla membantu menenangkan diri dari tangisnya.
"Gapapa, Kay. Perjalanan hidup akan membawa kita untuk terus belajar. Yang terpenting terus menjadi baik dari sebelumnya."
“Lalu, bagaimana kamu bisa bertemu dengan Bara lagi?” tanya Kayla pada Sara.
Sara pun kembali melanjutkan ceritanya.
***
Setelah satu tahun lamanya putus dari Nala, aku mulai terbiasa untuk sendiri. Aku belajar mencintai diri sendiri, belajar dari kesalahan atas hubungan yang ku jalin sebelumnya, dan hal lainnya. Aku tak ingin mencintai seseorang sebagai caraku untuk lari dan cepat melupakan masa lalu.
Karena bagiku itu hal yang salah. Selain akan menyakiti orang lain yang tak bersalah, tanpa sadar aku juga menyakiti diriku sendiri karena berbohong dengan perasaanku.
Di semester terakhir SMA ini, aku kembali bertemu dengan Barata setelah dua tahun lamanya tak bertemu. Kalau kalian ingat, ia adalah pemuda yang aku ceritakan sebagai sosok yang tinggi dengan gayanya yang tengil. Dulu aku dan dia sering kali bertengkar. Sering kali mengolok-olok satu sama lain. Siapa sangka kali ini dia pun muncul sebagai sosoknya yang baru sama sepertiku.
Kami tidak sengaja bertemu di sebuah kedai di dekat kota. Bara benar-benar berbeda dari sebelumnya. Aku sampai ragu menyapa apakah itu benar dia atau bukan.
Aku tetap mencoba mendekatinya.
“Barata?” panggilku dari samping tempat duduknya.
“Sara? Hei, sudah lama sekali nggak ketemu.”
“Oh, benar Bara, ya?”
“Sini-sini,” ajak Bara untuk duduk semeja dengannya.
“Sendiri saja, Bar?” tanyaku basa-basi.
“Iya, lagi pengen sendirian aja.”
“Eh, ya udah aku pindah lagi deh,” kataku sambil bersiap hendak beranjak dari tempat duduk.
“Kan aku yang nyuruh. Nggak apa-apa. Sini aja,” jawab Bara.
“Berubah banget loh sampai nggak ngenalin.”
“Tambah ganteng, ya?” sambil menyisir jambulnya dengan tangan.
“Ye, mulai deh tengilnya.”
“Hahaha. Gimana-gimana sekolahmu? Aman-aman aja?”
“Aman kok. Kamu nggak sekolah di sini, ya?”
“Nggak. Aku di Jombang, tempat pamanku.”
“Oh, pantes aja nggak pernah ketemu. Di sini berapa hari?”
“Lusa udah disuruh balik, sih.”
“Cepat amat deh.”
“Ya, harus bantuin paman juga di sana. Itung-itung balas budi lah.”
“Balas budi? Buat apa?”
“Ah, bukan apa-apa.”
“Eh, sorry ya kalau privasi.”
“Hahaha, santai aja, Sar.”
Meski sudah lama tak bertemu, kami ngobrol lancar sekali. Seperti tak akan kehabisan topik pembahasan. Padahal, dulu aku dan dia seperti tom and jerry. Nggak pernah akur sama sekali. Emang ya, kalau benci itu seperlunya aja. Kalau jatuh cinta kan malu sendiri.
Sejak pertemuan itu, kami lanjut mengobrol via sms dan kadang telepon. Hampir 6 bulan lamanya, baik aku maupun Bara sedikit demi sedikit mulai berani untuk lebih terbuka. Aku menganggap Bara sebagai sahabatku, pun dengan Bara. Ia juga menganggap aku sebagai sahabatnya saja.
Karena semakin lama aku merasa percaya pada Bara, akhirnya aku mencoba untuk bercerita sedikit demi sedikit tentang diriku seutuhnya. Aku mencoba jujur padanya, sampai tak ada satu pun yang aku tutupi darinya.
“Kalau aku nggak ada gimana, ya?” tiba-tiba aku mengucapkan kalimat itu di tengah perbincanganku dengannya.
“Hah? Nggak ada gimana maksudnya?”
“Beda alam.”
“Apaan sih, Sar? Beda alam gimana?”
“Ya, mati.”
“Heh, siapa yang mati?”