Catatan 20 Tahun

Chin Pradigta
Chapter #22

Patah

Setelah perbincangan panjang antara aku dan Bara, aku mulai berubah. Aku mulai mendekatkan diri pada Allah. Bara juga sangat membantuku. Ia juga memberikan sebuah buku tentang cara mencintai Nabi Muhammad SAW.

Akhir tahun, Bara mengungkapkan bahwa dirinya memiliki perasaan terhadapku. Pun denganku, aku juga punya perasaan dengannya. Tapi, dia tidak mengatakan jelas bahwa dia mencintaku. Dia hanya mengatakan bahwa, “Sepertinya aku punya perasaan aneh terhadapmu.”

Karena itu persahabatan kami masih selamat. Tapi, yang paling aku takutkan dari sebuah persahabatan yang didalamnya tumbuh sebuah cinta adalah ketika kepercayaan mulai tergores, maka selain hubungan, persahabatannya pun akan hancur.

Awal bulan di tahun baru, aku memutuskan untuk menarik diri dari dunia media sosial. Aku menghapus seluruh fotoku di berbagai medsos yang aku punya. Aku ingin fokus menyelami diriku sendiri, sampai puncaknya aku ingin merasakan ketenangan dari Sang Pencipta.

Padahal saat itu antara aku dan Bara baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Tapi, Bara mencoba memahamiku. Ia tahu tujuanku melakukan ini tanpa aku harus mengatakan apapun padanya.

“Jika suatu hari nanti saat aku kembali kamu sudah dengan yang lain, maka aku mempersilakan untuk itu. Tapi, jika suatu hari nanti kamu ingin kembali kepadaku, maka selesaikan dulu apa yang seharusnya kamu selesaikan,” itu adalah pesan terakhirku yang ku katakan pada Bara. Selain karena tujuanku itu, aku juga tahu bahwa masa lalunya masih dekat dengannya. Aku tak ingin berada dalam hubungan yang belum terselesaikan. Jadi, aku memutuskan untuk menarik diri sebelum akhirnya aku jatuh terlalu jauh hingga menyakiti diriku sendiri.

Tapi, Bara kemudian mengatakan bahwa dia akan menungguku.

***

Sehari sebelum hari ulang tahunku aku menghubungi Bara. Ya, aku merindukan suaranya. Aku juga menanyakan bagaimana hubungannya dengan masa lalunya. Apakah mereka malah semakin dekat atau semakin jauh.

Tak kusangka, malam itu Bara mengatakan bahwa ia telah menjalin hubungan dengan masa lalunya satu bulan lalu. Ia mengatakan banyak sekali. Dan aku seperti orang yang kehilangan nyawa, semuanya terasa kosong.

Aku belum menangis saat itu, tapi dadaku rasanya sesak sekali. Aku menutup teleponnya. Bara terus mengirimkan pesan meminta maaf. Sedangkan aku sedang mencoba untuk melawan diriku sendiri. Aku tidak ingin mengikuti amarahku. Aku hanya akan mengatakan sesuatu ketika pikiranku tenang.

Setelah pikiranku cukup tenang, aku membalas pesannya.

“Iya, gapapa. Aku maafin kamu. Tapi, untuk bersikap biasa saja maaf aku belum bisa. Aku akan mengusahakannya. Maaf belum tentu melupakan kan? Aku hanya perlu waktu untuk itu. Terima kasih untuk waktumu.”

“Kalau kamu masih mau aku ajak ketemu, tolong bilang ya. Aku akan jelaskan semuanya. Ingatlah bahwa aku tidak akan melakukan sesuatu kalau tak ada sebabnya.”

Lihat selengkapnya