Ujian semester telah berakhir. Akhirnya aku bisa bernafas lega dan mencoba menikmati hiruk piruk Jogja dengan kebebasan.
Aku dan Sella berencana untuk pergi ke mall untuk sekadar cuci mata dan mencari makanan promo untuk mahasiswa. Ya, kami memang sudah sefrekuensi. Sama-sama suka ngirit dan nggak mau mengeluarkan uang untuk hal-hal yang kurang penting.
Bahkan kami mempunyai perencanaan dalam sebulan akan makan berapa kali, liburan berapa kali, sampai rencana pengeluaran sebulan seberapa besar.
Setelah berjalan-jalan keliling mall yang hanya untuk cuci mata itu, akhirnya Sella mengajakku untuk makan sejenak. Kami kemudian berbincang-bincang tentang tugas, teman, keluarga, sampai dengan hubungan spesial.
Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dua kali. Sontak saja aku segera berbalik badan dan mendapati ada dia di sana.
“Bara? Kok ada di sini?” tanyaku terkejut karena ada dia.
“Duduk-duduk, ini kenalin temanku. Namanya Sella,” ucapku sembari memperkenalkan mereka berdua.
“Udah kenal kok,” jawab Bara.
Aku langsung menatap wajah Sella dengan kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati “Kok bisa?” Sella hanya membalasku dengan anggukannya dan tersenyum.
“Eh Sar, aku nggak jadi makan dulu, ya. Udah di jemput cowokku di bawah.”
“Terus makanannya?”
“Buat Bara aja,” jawab Sella sembari berdiri bersiap untuk segera pergi.
“Yaudah, aku duluan ya. Selamat bertemu kembali,” ucap Sella lagi sambil tersenyum. Tapi, kali ini senyum Sella seperti meledekku.
Setelah beberapa langkah Sella pergi, Bara mulai mengajakku berbicara. Meskipun kami hampir tiap hari selalu komunikasi dan curhat tentang masalah kuliah, keluarga, dan hal lainnya, tapi karena sudah lama tak bertemu membuat kami merasa sedikit canggung.
“Nggak kangen gue lo, Sar?”
“Apaan sih kangen-kangen segala... Ngomong-ngomong lo kok bisa di sini?”
*Bara flasback.
Sejak penghianatan yang dilakukan Bara, kedekatan kami memang cukup renggang. Apalagi, aku sempat marah padanya selama beberapa bulan.
Setalah baikan dan sibuk kuliah, Bara ternyata diam-diam masih peduli kepadaku. Lalu, bagaimana ia bisa kenal Sella? Ia mengenalnya karena ia kerap kali melihat snapgramku bersama dengan Sella. Ia berpikir bahwa mungkin Sella lah yang saat ini menjadi teman dekatku.
Bara mencoba mengirim pesan DM kepada Sella.
“Sel, aku temannya Sara. Kalau boleh tahu kamu teman sejurusannya, ya?”
“Oh, temannya Sara. Iya, aku satu jurusan dengannya. Kos kami juga dekat. Jadi, sering bareng deh.”
“Oh gitu. Aku nitip Sara, ya.”
Dikira barang, nitip-nitip.
“Nitip gimana maksudnya?”
“Ya, tolong jagain aja. Kalau kamu ngerasa dia sedikit aneh, biasanya dia lagi sakit. Kamu coba tanya dia aja. Soalnya, dia nggak akan cerita kalau nggak ditanya. Suka nutup-nutupin gitu. Jadi, aku minta tolong ke kamu.”
“Oh, iya-iya siap. Pantesan agak diem hari ini. Aku pasti jagain dia kok.”
“Oke. Makasih, ya. Tolong jangan cerita ke Sara kalau aku DM kamu.”
“Oke, Bar.”
***
Pantas saja, Sella begitu perhatian padaku ketika aku sakit. Ternyata Bara yang memberitahunya. Apalagi anehnya aku tak pernah cerita ke Sella kalau aku punya penyakit. Karena setiap aku sakit, aku selalu cerita ke Bara. Kalau ke orang tua takut malah jadi beban pikiran.
Satu minggu sebelum Bara akan ke Jogja, ia juga menghubungi Sella lagi. Ia meminta Sella untuk mempertemukannya denganku. Akhirnya, Sella membuat rencana untuk bertemu di mall saja. Ya, seperti yang terjadi saat ini.
***
“Hei, malah diem aja. Ada yang nanya ini,” ucapku sambil mengagetkan Bara.