Setiap impian adalah keindahan. Mengimaninya dan mengaminkannya menjadikannya terwujud dengan cara yang tak terduga.
Setelah tinggal beberapa hari dan pulang ke Surabaya, Bara kembali datang dengan membawa keputusan besar yang diambil untuk hidupnya. Usia mendewasa dan kita dituntut merangkul tanggung jawab.
Berkelana meninggalkan jejak demi mencari jati diri. Menemui banyak atmosfer dari setiap kota yang disinggahi. Berharap ada yang pas di hati, dan hatinya mengantarnya menapakkan lagi langkahnya kembali ke Yogyakata.
Tempat yang dulu ia idamkan. Tempat yang ingin ia singgahi di kala tua. Tempat di mana tokoh inspirasinya berada. Tempat seorang wanita yang ia sebut sebagai rumahnya.
“Sar, aku udah sampai,” terdengar suara Bara dari balik telepon.
“Mau aku jemput atau gimana?”
“Aku sama temanku aja dulu. Nanti malam kalau ada kendaraan aku jemput kamu, ya?”
“Iya, boleh.”
Meski terlibat dalam perdebatan yang alot bersama keluarga, akhirnya Bara bisa terbebas dari belenggu yang merantainya. Tapi, tidak dengan Sara. Ia masih berkutat pada kekangan yang membatasi hidupnya.
Langit yang cerah ditelan kegelapan malam menghadirkan bintang-bintang yang saling berkelap-kelip menyapa rembulan. Menemani sepanjang malam mengukir keindahan dalam kepekatan.
“Aku di depan,” ujar Bara mengirimkan pesan padaku.
“Tunggu 5 menit. Bentar-bentar,” balasku.
Aku segera ke luar dari kamar hanya memakai celana training dengan jaket hitam. Tampil seadanya saja. Lagian siapa yang akan memperhatikanku malam-malam begini. Bahkan, ini sudah terlampau larut untuk seorang gadis keluar.
Aku tak tahu Bara akan membawaku ke mana. Ia mengajakku keliling-keliling dengan menikmati udara dingin Jogja di malam hari. Ia ternyata membawaku untuk minum secangkir kopi.
Sesampainya di tempat itu, kami mulai membicarakan banyak hal lagi.