Sisi dalam kehidupan itu selalu berpasang. Pun dengan sisi dalam diri kita. Tapi, nampaknya yang selau tertampakkan hanya sisi kebaikan saja. Sedangkan sisi gelap, terus diusahakan untuk tertutupi, dihindari, atau dipaksa untuk mati.
Aku dengan kepedihan yang ku alami selama ini, membuatku larut dalam kegelapan yang terus menghantui. Menangis sepertinya sudah menjadi hobi. Dengan terus berharap segera menemui ketenangan sejati.
Mendekatkan diri pada Tuhan adalah jawaban. Karena obat saja sepertinya tidak mempan. Terlebih yang penting adalah penerimaan. Sejatinya obat untuk diri, ya, diri kita sendiri.
Ketika itu aku hendak menunaikan ibadah sholat, aku mencoba untuk khusyuk karena kesadaran sedang berada dihadapan Tuhan, sang pencipta alam raya ini. Kemudian, aku menundukkan kepalaku terfokus pada titik di mana aku akan bersujud.
“Astagfirullah.” Sesuatu mengusik konsentrasiku.
“Fokus-fokus, Sara,” ucapku menenangkan diri. Kemudian, aku mengambil nafas dalam-dalam. Setelah itu, aku mencoba mengulangi sholatku lagi. Kali ini aku tak boleh terganggu dengan apapun.
Ketika aku mulai tenang dan menundukkan kepalaku, aku bertemu dengannya. Ya, dia yang membuatku terkejut tadi.
Sosok kecil dalam tubuhku yang diselimuti dengan wajah kemurungan. Sontak saja aku kaget karena ternyata dia masih ada. Namun, aku mencoba kembali untuk fokus menghiraukan apa yang ku lihat dan mencoba untuk tetap tenang. Setelah selesai sholat, aku dipenuhi dengan pertanyaan, “Siapa tadi? Apa aku mulai berhalusinasi?”
Setiap kali aku terfokus pada diriku, aku selalu bertemu dengannya. Dan wajahnya masih sama. Tidak ada senyum sedikitpun yang terukir di wajahnya.
***
Dunia sedang dirundung musibah pandemi. Semua unsur dalam kehidupan harus dijalankan di rumah. Kehidupan secara tiba-tiba harus beradaptasi dengan digitalisasi.
Perkuliahan dilakukan secara online. Jadi, aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya saja. Sedangkan, Bara harus tetap tinggal di Jogja karena tanggung jawab pekerjaannya.
Berlama-lama di rumah, tak lantas membuat hidupku bahagia. Justru aku semakin terkurung dengan kegelapan yang ada. Orang tuaku tetap sama sejak dulu, masih sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri.
Aku dan mereka jarang sekali mengobrol. Aku benar-benar merasa kesepian. Jauh lebih kesepian dari sebelum-sebelumnya.
Hingga suatu ketika, aku terbiasa mengobrol sendiri. Bertanya dan menjawab hal yang diajukan oleh dirku sendiri. Aku merasa ada beberapa orang dalam diriku. Mereka yang hampir tiap hari selalu mengajakku berbicara.
“Bagaimana harimu?”
“Bagaimana perasaanmu?”
“Jangan sedih-sedih terus!”
“Gapapa kok. Kan ada aku.”
Dan banyak hal lain yang aku merasa mereka lah yang mengatakan itu padaku.
Aku makin merasa ada yang tidak beres. Aku lalu mencoba tak lagi menanggapi suara-suara itu. Ya, meskipun efeknya aku merasa kesepian lagi. Tapi tak apa. Aku takut jika hal ini akan semakin menjadi-jadi dan membuatku nampak seperti orang gila.
***
Aku kembali ke Jogja untuk mengurus beberapa hal. Aku berangkat sendiri menggunakan kereta. Tentu saja dengan terus mematuhi protokol kesehatan yang ada.
Selain beberapa urusan, Jogja telah menjadi tempat pelarian untukku yang penat dengan deraian air mata karena tekanan orang tua. Di sini adalah salah satu obat untukku untuk merasa sedikit tenang. Tak lupa aku juga memberitahu Bara jika aku sedang berada di Jogja.