Tiga bulan di Jogja, berlalu begitu cepat. Aku semakin tenang sejak aku bertemu dengannya, sosok yang menjadi bagian dalam hidupku. Aku mulai jarang menangis. Aku bahkan mulai sering tersenyum untuk beberapa hal kecil.
Namun, tentu saja tak semudah itu aku bisa bertemu dengannya. Aku harus melalui titik terendahku dulu, harus melewati tangis yang datang hampir tiap hari, dan tentu saja membuka kembali lukaku dengan menceritakan segalanya pada kakakku, Kak Nugraha.
Malam itu, Kak Nugraha sedang berkunjung ke Jogja. Tentu saja atas permintaanku.
“Kak, aku mau cerita. Bisa ke Jogja?”
“Mau cerita apa? Kenapa nggak telepon aja? Atau kenapa nggak sekalian kalau kamu udah pulang Surabaya aja?”
“Nggak enak kalau di telepon. Kalau di rumah aku nggak bisa. Gimana, Kak?”
“Minggu depan kakak baru bisa ke sana.”
“Ya udah nggak apa-apa.”
***
Setelah seminggu berlalu, Kak Nugraha akhirnya bisa juga main ke Jogja. Kami bertemu di kedai milik Barata.
“Gimana kabarmu? Sendirian aja?” tanya Kak Nugraha.
“Baik kok. Enggak sih. Aku mau kenalin seseorang.”
“Siapa?”
Aku lalu mengayunkan tanganku mencoba memanggil Bara dari kejauhan. Setelah menyadarinya, Bara segera berbalik dan berjalan mendekat menuju ke meja tempat aku dan Kak Nugraha berbincang.
“Kak, kenalin ini Bara. Orang yang nyelametin aku saat aku pengen bunuh diri.”
“Hah? Bunuh diri?”
“Ya, aku depresi, Kak. Beberapa waktu lalu, aku dan Bara pergi ke psikolog. Udah sempat ngejalani terapi juga. Sekarang, udah cukup baik dari sebelum-sebelumnya.”