“Bar, aku mau pulang.”
Tiba-tiba kalimat itu terucap dari bibir Sara yang sedang memakan beberapa suap nasi yang dibelikan Bara.
“Coba aku cek tiketnya dulu.”
Bara tak menyanggah permintaan Sara. Karena ia pikir mungkin Sara ingin dekat dengan kelurganya di kala sakit seperti ini.
“Tiket hari ini udah penuh semua jamnya. Kita balik besok pagi aja, ya? Kalau kita bawa mobil, kasian kamu nanti capek.”
“Iya udah nggak apa-apa.”
“Udah habisin makannya dulu.”
Setelah merasa cukup kenyang, Bara meminta Sara untuk meminum obatnya. Bara menunggu Sara sampai Sara tertidur. Ia sangat memperhatikan kesehatan Sara. Setelah Sara tertidur, Bara menelepon dokter yang biasa memeriksa Sara.
“Halo, Dok. Saya Barata. Maaf Dok kalau saya mengganggu. Jadi, Sara ingin pulang ke Surabaya. Apa tidak apa jika dia melakukan perjalanan jauh?”
“Seharusnya jangan dulu, menunggu dia fit terlebih dahulu. Tapi, kalau dia memaksa kamu cukup siapkan apa saja yang pernah saya sampaikan ke kamu. Jadi, kamu bisa jaga-jaga kalau terjadi apa-apa. Pastikan dia banyak istirahat dulu.”
“Baik, Dok. Saya aku melakukannya. Terima kasih.”
“Iya, semoga Sara lekas sembuh, ya.”
“Aamiin, Dok.”
Bara kemudian menutup teleponnya. Ia meminta Sella untuk menemani Sara. Sella juga membantu mengemasi barang-barang Sara. Sedangkan di sisi lain, Bara harus menyiapkan perlengkapan untuk besok pulang ke Surabaya. Ia juga tak lupa segera menghubungi Nugraha, memberitahunya kalau Sara meminta untuk diantarkan pulang saja.
***
*Stasiun kereta
Meski kondisinya tak cukup baik, Sara tetap memaksakan untuk pulang ke Surabaya. Sella yang melihatnya sebenarnya ingin segera meneteskan air mata. Karena ini kondisi terburuk dari Sara dibandingkan sebelum-sebelumnya. Tapi, dia harus lebih kuat agar Sara juga bisa kuat dengan rasa sakitnya.
“Hati-hati, ya, Sar,” ucap Sella memeluk Sara.
“Iya, jaga dirimu baik-baik, Sel.”
“Bar, tolong jaga dia. Kabarin kalau udah sampai, ya.”
“Iya, makasih Sel bantuannya.”
Saat kereta mereka tiba, Bara dan Sara segera masuk ke gerbong kereta. Sulit menggambarkan bagaimana susahnya Bara harus menggandeng Sara dan juga harus membawa tas-tas yang tak ringan beratnya. Tapi, Bara benar-benar laki-laki yang hebat. Ia mencoba menahan semua itu, dan mencoba terlihat baik-baik saja di depan Sara.
Saat di tengah perjalanan kereta itu, Sara dan Bara saling mengobrol untuk mengurangi rasa jenuh mereka. Namun, tiba-tiba saja Sara berucap secara serius dengan Bara.
“Cari wanita yang sehat yang sempurna, ya. Biar nggak perlu sakit-sakit jagain kayak gini.”
“Apa sih, Sar.”
“Aku beneran Bara.”
Bara kemudian menatap mata Sara dalam-dalam dan berucap, “Sar, aku nggak masalah dengan apapun yang terjadi sama kamu. Cuma aku nggak bisa lihat kamu kayak gini. Masa iya sih karena kamu ada masalah keluarga, atau punya sakit, terus aku menjauh begitu saja. Udah cukuplah dulu aku nyakitin kamu, Sar. Aku nggak mau melakukan hal itu lagi."
Sara hanya membalas senyum dengan mata yang berkaca-kaca.
“Udah nggak usah nangis gitu. Nggak mau istirahat aja?”
“Aku istirahat, ya?”
“Iya, istirahat aja.”
Sara kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Bara. Bara berusaha terjaga untuk memastikan Sara baik-baik saja. Namun, sesekali rasa kantuk juga datang sehingga sesekali pula Bara tertidur sebentar.
***
*Tiba di Surabaya.
“Kak, aku sama Sara udah di stasiun.”
“Aku ada di seberang sebelah kiri jalan, Bar.”
“Oke, aku ke sana.”
Bara menutup teleponnya dan segera menghampiri Nugraha. Sara yang melihat kakaknya segera memeluknya. Nugraha pun membalas pelukan Sara. Nugraha merasakan badan Sara yang seperti api berkobar-kobar panasnya.