Seminggu berlalu dengan duka yang masih menyisakan di dada. Surat terakhir yang diberikan Sara, belum sempat Bara baca karena memang tak sanggup saja untuk membacanya. Namun, kali ini Bara mencoba menguatkan diri. Mungkin ada beberapa hal penting yang perlu Bara tahu yang belum sempat Sara katakan padanya.
Malam itu Bara membacanya di taman kota tempat biasa Bara dan Sara menghabiskan waktu untuk sekadar ngobrol ngalor-ngidur tak jelas arahnya.
Surat untuk sahabatku dan hatiku, Barata.
Dear Bara,
Meski hanya hitungan tahun kita bersama, rasanya aku sudah mengenalmu berabad-abad lamanya. Masih tak ku sangka, aku dulu membencimu. Tapi, kini aku menitipkan hatiku padamu.
Bar, mungkin pikirmu rasaku belum mendewasa. Apalagi umurku yang belum menyentuh dua puluh lima. Tapi, tak apa. Aku tak akan memaksa. Cukup bagimu merasakannya saja. Apakah cintaku ini benar adanya.
Terima kasih atas setiap detik yang pernah kamu berikan untukku. Maaf jika kehadiranku malah merepotkanmu. Ketulusanmu membuat batu dalam hatiku terkikis perlahan terbawa angin menjadi abu.
Berbahagialah. Aku selalu ada di sampingmu. Kau pernah bilang kan, bahwa semua ini tidak tentang jarak dan waktu. Karena sampai kapan pun aku akan selalu ada menemanimu.
“Mendung memang kelabu. Tetapi cintaku padamu tak pernah abu-abu.”
-Sara