Dalam kehidupan hal baik dan buruk saling berdampingan untuk saling mengisi. Kekosongan dari setiap jeda yang ada memaksa kita untuk senantiasa belajar. Begitupun dalam bertumbuh di sebuah keluarga. Dan untuk tumbuh dalam keluarga yang seperti apa, kita tak bisa memilih. Kita hanya perlu menjalaninya.
“Kay, makan dulu!” Suara teriakan Mama memanggil Kayla untuk segera sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
“Bentar, Ma,” teriak Kayla dari dalam kamar.
Kayla Maharani, gadis remaja yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SMA. Ia hidup dalam keluarga berkecukupan dan hidup dengan keharmonisasian. Meski menjadi anak terakhir dari dua bersaudara, ia tidaklah dimanja bak seorang putri oleh orang tuanya.
Keterbukaan, kebebasan, dan kedisiplinan yang seimbang membuatnya tumbuh menjadi gadis dewasa nan cerdas. Ia tidak cacat akan kasih sayang orang tuanya. Orang tuanya selalu memposisikan diri sebagai teman yang baik untuknya. Kapanpun Kayla membutuhkannya, baik mama maupun papanya akan selalu ada.
“Selamat pagi, Ma,” sapa Kayla turun dari tangga kamar.
“Selamat pagi, Nak. Makan dulu!”
“Oke!”
“Papa udah berangkat, Ma?”
“Belum, masih di kamar mandi. Mandi aja lamanya ngalahin Mama,” ucap Mama berbisik.
“Hahaha.” Kayla tertawa mendengarnya.
“Ma, setalah ujian boleh nggak main ke Bali?”
“Mau ngapain?”
“Ya, liburan aja sih. Kucing terkurung dalam sangkar burung, Ma. Kasihan, kan?”
“Ngomong apasih, Kay. Coba deh nanti kita tanya Papa dulu.”
“Oke. Yaudah deh aku berangkat dulu, ya. Assalamualaikum,” sembari mencium tangan Mamanya.
“Pah, Kay berangkat dulu.”
“Hati-hati, Nak,” suara teriakan Papa dari dalam kamar mandi.
Seperti biasa, Kayla naik angkot untuk pergi ke sekolah. Sejak SMP, ia selalu naik kendaraan umum ini. Ia sampai hafal dengan semua sopir angkot yang ada di daerahnya itu. Meski orang tuanya memberikan fasilitas sepeda motor untuknya, ia menolak. Ia lebih senang naik angkot agar banyak bertemu dengan teman baru.
“Pak Bodir!” teriak Kayla sembari mengayunkan tangannya. Ia sudah hafal dengan plat nomor angkot biru Pak Bodir.
Di dalam angkot Kayla terus saja mengobrol. Pribadinya yang supel itu, membuatnya banyak dikenal dan mengenal.
“Sudah sampai, Neng.”
“Ini, Pak,” sembari menyodorkan uang.
“Terima kasih. Sukses ujiannya, Neng.”
“Siap, Pak. Semangat nariknya,” jawab Kayla penuh semangat.
Setelah beberapa menit tiba di sekolah, bel berbunyi. Ujian akan segera dimulai. Kayla dan teman-temannya segera masuk ruangan yang sudah ditentukan.
*Selesai ujian.
“Tadi, soal yang itu kamu jawab apa?” tanya salah satu teman Kayla. Teman lainnya pun saling menimpali dan akhirnya membahas semua jawaban dari soal yang diujikan. Kayla hanya berdiri diam menyandar di pilar.
“Kamu jawab apa, Kay?”
“Tau, deh. Lagian ujiannya udah selesai masih aja dibahas. Toh semua hal nggak bisa berubah meski kita udah tahu kebenarannya, kan?. Yang udah ya udah aja. Yang penting udah usaha.”
Semua temannya terdiam dan menghentikan pembahasan ujian tersebut.
Kadang memang suka kesal kalau lihat teman lagi bahas-bahas soal ujian yang sudah terlewati. Saling tanya sana-sini. Buka buku ini itu. Padahal, seharusnya buka buku itu sebelum ujian, bukan setelah ujian. Bukannya bikin tenang, malah bikin down karena ngerasa banyak salah.
Setelah mengungkapkan kekesalannya pada temannya, akhirnya Kayla memilih untuk segera pulang.
“Aku balik dulu, ya.”
Tak seperti biasa, Kay pulang dengan berjalan kaki. Tiba-tiba dari arah belakang ada suara yang mendekatinya.
“Kay, jalan kaki?” tanya seorang laki-laki yang saat ini membersamainya berjalan.
“Melayang!”, jawab Kayla dengan muka ketusnya karena masih merasa kesal.