Namaku Sara Bia Denallie. Orang-orang biasa memanggilku dengan Sara. Catatan dalam buku ini adalah catatan dari setiap rentang kisahku yang tentu saja penuh dengan naik turun dan lika-liku yang tak tentu.
Entah aku punya kemampuan apa sehingga aku bisa mengingat jelas di mana aku terlahir dan bagaimana perut besar ibuku waktu itu. Aku sempat berpikir bahwa itu hanya khayalanku. Tapi, saat aku menggambarkan bagaimana tempat itu, ibuku membenarkannya. Sebuah rumah dari seorang bidan di desa. Kursi dan meja kayu, serta halaman luas dengan tinggi rumah sedikit rendah. Aku ingat pagarnya berwarna hijau. Sampai saat ini, aku masih tak mengerti bagaimana aku bisa punya ingatan itu.
Aku pun sempat berpikir mungkin itu adikku, tapi kenyataannya aku tak punya seorang adik. Jadi, sudah pasti bayi dalam perut ibuku adalah aku saat itu. Aku ingat bagaimana ekspresi dari ibuku saat akan melahirkanku. Keringat, teriakan, dan rasa lega setelah aku lahir di dunia. Sayang, aku tak ingat bagaimana ekspresi ayahku.
Dulu, kehadiranku dinantikan oleh banyak orang. Kakakku utamanya. Ia begitu ingin memiliki seorang adik. Kami terpaut 5 tahun.
Terlahir di dunia menjadi seorang manusia adalah anugerah dari Tuhan. Menangis untuk pertama kalinya setelah terkurung dalam kegelapan selama 9 bulan di dalam ruang kasih sayang seorang Ibu. Kehangatan hadir ketika melihat bayi mungil nan cantik. Apalagi aku adalah cucu kedua dan pertama yang berjenis kelamin perempuan. Pasti seluruh keluargaku menyayangiku, pikirku.
Aku pikir dunia akan penuh dengan kasih sayang sampai di mana aku harus pulang pada-Nya. Ternyata aku salah. Sejak pertama kali aku menghirup nafas, sejak saat itu pula perjalananku dimulai.
“Ayu banget bocah iki,” ujar Nenekku. Ayu dalam bahasa Jawa artinya cantik.
“Pinter iki sok mben (pintar ini suatu hari nanti),” ujar Kakekku.
Sayang, belum begitu jelas aku menatap dunia, aku tak sempat melihat wajah Kakekku. Aku hanya mampu memandanginya lewat foto di sebuah album kuno milik Nenekku.
Sejak aku lahir, kakakku perlahan berubah menjadi anak yang mandiri. Ia rela membiarkan segala perhatian orang tua diberikan kepadaku. Ia membeli makan sendiri, berangkat sekolah sendiri, padahal di usianya itu anak-anak lain masih diantarkan oleh orang tuanya.
Ya, kami bukan anak dari keluarga kaya. Keluarga kami sangat sederhana. Ayahku seorang yang bekerja di kantor perikanan kecil dan seorang guru juga, sedangkan ibuku hanya membuka sebuah usaha kecil-kecilan saja.
Aku tumbuh di sebuah desa kecil yang jauh dari kota. Tidak seperti sekarang. Karena sebuah kesibukan orang tuaku, aku dirawat oleh tetangga belakang rumahku. Namanya Mak Idah. Ya, di kampung sebutan “Mak” itu sangat lumrah. Entalah kalau sekarang, mungkin terlihat kuno.
Kebetulan sekali Mak Idah ini belum memiliki seorang anak. Sehinga tentu saja aku merasakan perhatian yang lebih dari Mak Idah dan suaminya. Seperti anaknya sendiri.
Berbeda denganku, Kakakku Nugraha ia dirawat oleh nenekku. Karena itulah kakakku jauh lebih dekat dengan nenekku daripada aku.
Saat usiaku 1 tahun, akhirnya aku punya teman untuk bermain. Anaknya Mak Idah. Anak angkat tepatnya. Karena sakit yang dideritanya, Mak Idah memang akan sulit memiliki seorang anak. Berkali-kali mengalami keguguran, membuatnya terlihat kurus mungkin karena luka batin yang terus menggerogoti tubuhnya.
Sampai saat ini, anak itu tak tahu jika ia adalah anak angkat. Yang jelas aku tahu bahwa ia sangat menyayangi Mak Idah. Begitu pun sebaliknya. Sehingga jika suatu hari kebenaran itu terungkap, mungkin tidak jadi masalah. Oh, iya, namanya Puspita.
Kami selalu bermain bersama, makan sepiring berdua, mandi bareng, keluar bareng, hanya saat malamnya saja kami terpisah. Saat sore hari, saat di mana orang tuaku pulang, maka waktu bagiku untuk pulang juga ke rumah.