SEORANG sarjana baru alias fresh graduate pasti punya ketakutan tersendiri dalam menghadapi kompetisi di dunia kerja. Nggak mudah memang menghadapi perubahan mindset, dari yang sebelumnya dapat duit kiriman tiap bulan, sekarang harus bisa nyari duit sendiri buat bertahan hidup.
Pikiran mereka akan dirasuki ketakutan-ketakutan seperti, “Duh, bisa nggak ya gue nyari duit.”, “Duh, nggak pede nih buat kerja.”, “Duh, gue takut bersaing nih.”, “Duh, nilai gue kan kecil.”, “Duh, IPK gue kan kecil.”, atau “Duh, anu gue kan kecil.” Hampir setiap calon sarjana merasa siap untuk lulus, tapi nggak siap untuk bekerja.
Salah satu kegiatan yang paling banyak dilakukan mahasiswa yang telah dinyatakan lulus, tentunya selain membuncitkan perut di rumah orangtua mereka, adalah mendaftarkan diri di ajang pencarian kerja1, online maupun offline.
“Sam, besok ada job fair di kampus. Ikutan nggak?”
“Oh. Penting ya?”
“Pentinglah, memang kalau lulus, elo nggak mau kerja?”
“Nggak, gue mau nikahin cewek yang bokapnya kaya en lagi sakaratul maut.”
“Bego!”
Entah apa yang terjadi di dunia pendidikan kita, doktrin untuk menjadi pekerja setelah selesai study begitu kental. “Makin tinggi pendidikan, makin pengin jadi karyawan.” Berkat ajakan Sobari sore itu, doktrin yang sama yang selama ini disumpelin orangtua dan dosen seakan menjadi prinsip baru di kehidupan gue.
***
Ini udah tahun kedua sejak gue lulus dan tahun ketiga sejak time capsule berisi impian itu gue tanam bersama seorang perempuan. Nggak tahu deh sekarang kabarnya gimana, apa masih terkubur dengan rapi atau udah dikiloin sama pemulung. Janji kami, lima tahun sejak benda itu ditanam, kami akan kembali lagi di tanggal dan tempat yang sama.
Di tahun ini, hidup gue masih belum banyak berubah, membuat gue makin waswas dengan keadaan di masa depan saat tanggal pertemuan itu datang. Gue khawatir, saat ketemu lima tahun lagi, Kodok masih melihat gue seperti gembel. Ya, mapan itu sulit, tapi hidup akan lebih sulit kalau tidak mapan.
Gue masih ingat betul nasihat Mario Teguh, lelaki mapan akan lebih tampan. Nasihat itu bagi sebagian orang akan sangat berpengaruh positif secara emosional, tapi bagi gue, gue justru jadi makin terpuruk: udah nggak tampan, nggak mapan pula. *nelen kulit duren
Tahun kedua setelah wisuda ini mungkin tahun yang bener-bener membuat gue gila. Bisa dibayangkan, ketika kita masih bingung mencari pekerjaan yang mapan, gagal dalam usaha, teman-teman yang lain sudah banyak yang berkarier, berpenghasilan tetap, setiap minggu jalan-jalan, pamer gadget dan kendaraan. Belum lagi kalau ada teman yang baru beberapa bulan bekerja, kemudian langsung menyebar undangan pernikahan. Duh, sakitnya tuh di sini. *nunjuk ke lubang pantat
Yang lebih menyakitkan lagi dari hal di atas adalah, pikiran dan prasangka tentang, “Sebenernya gue ada di jalur (kemapanan) yang bener nggak, sih?”
***
Juli 2012, gue diwisuda.