MAHASISWA atau calon sarjana akan sangat ketakutan bila IPK mereka berada di bawah 3,00 (tiga koma nol). Sebuah angka standar jika ingin mendapat pekerjaan yang bagus, begitu kata kebanyakan orang. Karena ketakutan kalau-kalau nggak mendapat pekerjaan yang baik itulah, banyak mahasiswa yang begitu menggebu mendongkrak IPK mereka ketika kuliah. Bahkan mereka rela menambah SKS dan semester, hanya untuk memperbaiki angka di atas kertas itu.
Saat menjadi mahasiswa, gue pun memiliki ke-parno-an yang sama. Ketakutan itu muncul ketika mulai dari orangtua, dosen, teman, kakak kelas, mereka selalu menasihati hal yang sama, “Minimal IPK harus 3,00 loh, biar enak nyari kerjanya.” Bahkan mbak-mbak warteg pun juga sering menasihati, “Mas, ini udah tanggal 3 loh, kasbonnya tolong dibayar.”
Sebelum menginjakkan kaki di tingkat akhir, gue tipe mahasiswa yang rajin kuliah demi mendongkrak IPK di atas batas standar. Tapi apesnya, nambah kuliah bukannya nambah IPK, malah semakin ngerusak. Kuliah dapat A, IPK cuma naik beberapa koma. Pas dapat C, IPK jadi terjun bebas. Semua mahasiswa tahu penderitaan ini.
Untungnya gue ini tipe mahasiswa yang kuat jiwa dan raga, bagi gue yang sangat berprestasi ketika sekolah, pas mendapat nilai C pertama saat kuliah, gue cuma galau 2 bulan.
Berputus asa dengan IPK, selama sisa kuliah gue di tingkat akhir, gue menjadi pribadi yang lebih alim. Kalau dulu saat awal kuliah nongkrongnya di mal, pas tingkat akhir jadi lebih sering ke masjid. Berkat itu, gue jadi sangat bersyukur atas nikmat Tuhan. Karena-Nya, gue mendapat hidayah yang sangat suci, IPK nggak akan ditanya malaikat kubur. Gue pun menanamkan prinsip baru dalam hidup, yaitu IPK di atas tiga itu seperti ibadah haji, tunaikanlah bila mampu.
Masa-masa kuliah pun berlalu, gue lulus dengan IPK seadanya. Di ijazah gue terpampang sebuah angka sakral: 2,99 (dua koma sembilan sembilan). Gue mulai curiga, jangan-jangan angka itu adalah rangkaian angka setan. Seandainya IPK bisa disedekahin, mungkin sebelum lulus gue akan lebih sering nongkrong di masjid sambil menengadahkan tangan,
“Pak, minta IPK, Pak. Udah bertahun-tahun kuliah, Pak. Tapi IPK kurang 0,01 doang, Pak. Kesian, Pak.”
Surat Keterangan Lulus (SKL) gue dapatkan di bulan April, sedangkan jadwal wisuda gue di bulan Juli. Menurut petugas administrasi di fakultas, cukup bermodal SKL, gue udah bisa melamar pekerjaan tanpa perlu menunggu ijazah—yang baru dibagikan saat wisuda. Selama tiga bulan menunggu wisuda, gue pun berusaha melakukan pencarian.
Sering kali gue kemakan prinsip sendiri. Lulus dengan IPK di bawah tiga ternyata membuat hidup gue begitu nahas. Waktu nyekripsi kerjaannya nungguin pembimbing, giliran udah lulus kerjaannya nungguin wisuda, giliran udah wisuda kerjaannya nungguin kerja.
***
Sore itu, setelah mendaftarkan diri untuk wisuda, gue menyempatkan diri ngelihat-lihat lowongan kerja di rektorat. Ada papan pengumuman yang biasa ditempeli petugas dengan lembaran informasi kesempatan bekerja.
“Nah, ada petugasnya noh lagi nempel-nempel. Informasi baru nih kayaknya.”
Gue pun menghampiri papan itu.
“‘LOWONGAN PEKERJAAN.’ Wuih, lowongan kerja di perusahaan pangan internasional, Men! Posisinya, hm … Management Trainee. Cakep! Syaratnya apa ya, hm .…“ Gue perlahan memperhatikan persyaratannya.
- Memiliki kemampuan komunikasi yang baik. “Oke, gue qualified.”
- Berpengalaman dalam organisasi. “Gue banget!”
- Memiliki kemampuan manajerial yang baik. “Beuh, ganteng.”
- Fresh graduate very welcome. “Hmmm. Oke.”
- Mampu bekerja di bawah tekanan. “Siap.”
- Siap ditempatkan di luar kota. “Oke sip.”
- IPK minimal 3,00. “….”
Gue pun menelan ludah. Celingak-celinguk kayak tukang ngutil, kemudian kertas lowongan kerja itu gue copot, gue bejek, dan gue lempar ke danau.
“MAMPUS LO!” teriak gue. Gemes.
“PRIT! PRIT!”
“WOY! WOY!” teriak petugas rektorat. Kami pun kejar-kejaran, gue melompat ke danau.