Setiap orang memiliki kisah di dalam hidupnya.
Semesta pasti memiliki rencana dalam setiap pertemuan yang dicipta-Nya.
Dan inilah kisah yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Aku lulus dalam seleksi penerimaan siswa baru di sekolah menengah atas favorit di Jakarta. Betapa bahagianya dapat diterima di sekolah impianku selama ini. Memakai seragam sekolah putih abu-abu membuatku bangga, haru sekaligus senang karena aku mampu melaloi masa kecilku sampai dengan di tahap jenjang SMA saat ini. Berbagai peristiwa yang kualami sejak kecil hingga perjalanan remaja dan bertumbuh dewasa nantinya akan menjadi sejarah yang aku ingat.
Menurut beberapa orang, masa SMA merupakan masa yang membahagiakan dalam persahabatan sekaligus penuh perjuangan. Penuh perjuangan karena setelah masa SMA berakhir, akan dihadapkan pada pilihan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu universitas, meskipun beberapa diantaranya setelah lolos dari jenjang SMA ada yang memilih untuk melanjutkan bekerja. Aku rasa, setiap masa akan menjadi masa paling membahagiakan yang berbeda bagi masing-masing orang.
Aku melangkah memasuki sekolah yang didalamnya terdapat lapangan yang luas dengan masjid yang cukup megah berada di samping kanan gedung sekolah. Di sekelilingnya terdapat pohon dan tanaman yang menghiasi pekarangan sekolah dengan rapi dan membuat suasana semakin sejuk. Angin bertiup menyibakkan rambutku, sambil aku mempersiapkan kunciran rambut di dalam tas, aku berjalan memasuki koridor kelas yang terlihat sudah mulai ramai siswa berlalu lalang. Sebagian diantara mereka kemungkinan adalah kakak kelas dan beberapa orang lainnya adalah siswa baru sepertiku. Aku berhenti sejenak untuk melihat papan nama yang mulai ramai dilihat secara bergantian oleh siswa yang terletak di lantai dasar. Setelah beberapa menit mengamati satu demi satu nama beserta pas foto yang diunggah pada saat pendaftaran, kemudian akhirnya aku menemukan foto dan namaku berada diantara nama dan foto siswa lainnya. Setelah yakin dengan nama dan kelas yang aku lihat, segera ku langkahkan kakiku penuh semangat menuju kelas sepuluh A yang menurut gambar petunjuk arah panah, kelas tersebut berada di lantai satu.
Aku menyusuri satu persatu koridor kelas yang berada di lantai satu hingga akhirnya ku menemukan kelas sepuluh A. Aku menoleh ke berbagai arah sebelom akhirnya masuk ke dalam pintu kelas yang terbuka lebar dan melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalamnya. Aku mencari beberapa kursi yang masih kosong seraya berharap semoga teman-teman baruku menyenangkan karena mama selalu bercerita bahwa masa SMA adalah masa yang membahagiakan. Aku pikir, dia mengatakan demikian karena bertemu dengan papa sebagai cinta pertamanya di SMA. Masa SMA yang sungguh menarik, pikirku. Kalau menurut papa, aku akan merasakan masa yang membahagiakan versiku sendiri nantinya, entah di SMA, universitas atau setelah lulus dari keduanya. Semoga harapan mama dan papa untuk kebahagiaanku dapat tercapai, ucapku dalam hati.
Aku meraih kursi yang masih kosong dan melihat dari jendela ruang kelas masih ada beberapa siswa yang mencari-cari ruangan kelas masing-masing dan beberapa anak lainnya sudah mulai berkenalan di kelas dengan teman-teman barunya. Aku menoleh ke arah jendela kelas yang tepat di sebelah kananku.
Ini kali pertamaku melihat seorang laki-laki di luar jendela kelas yang membuatku bertanya-tanya siapa dia, kelas berapa dan siapa namanya. Rambutnya basah dengan style rambut berantakan namun wajahnya manis. Alisnya terlihat simetris dengan tinggi badan ideal. Seragamnya rapi dimasukkan ke dalam celana dan ia membuat jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Entah mengapa. Ini tiba-tiba. Aku melihatnya dan mengamatinya dari balik jendela kelas ketika dia sedang berjalan melewati koridor kelas tepat berada di sepanjang ruang kelasku, kelas sepuluh A. Ia menoleh, menangkap tatapanku. Aku melihatnya beberapa detik lagi, lalu refleks mengubah pandanganku kembali ke ruang kelasku. Dua orang perempuan yang duduk di kursi belakangku menghampiriku, kemudian aku larut dalam obrolan singkat dengan dua orang siswa yang mengajakku berkenalan, sementara laki-laki tersebut tetap berjalan di sepanjang koridor luar ruang kelas.
“Irgi !”panggil seseorang dari kejauhan.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi, berwajah oval dan berhidung mancung itu menoleh ke arah sumber suara.
“Ini buku yang lo mau pinjem kan?”tanya seorang perempuan berambut ikal dengan tinggi semampai yang menghampirinya.
“Nah, ini dia buku yang gue maksud. Thanks ya, nay.” Laki-laki yang bernama Irgi pun tersenyum sambil meraih buku yang diberikan oleh perempuan tersebut.
“Oh iya, gi. Kemarin bu Citra bilang sama gue. Katanya, pendalaman materi anak kelas tiga dimulai bulan depan buat persiapan ujian nasional.” Perempuan berambut ikal dengan kulit kuning langsat dan memiliki pipi tirus itu pun duduk di kursi yang ada di setiap luar koridor kelas dan Irgi pun duduk disampingnya mendengarkan ucapannya.
Perempuan dengan lesung pipit di pipinya itu kemudian menatap wajah laki-laki yang bernama Irgi.
“Wah, cepat banget ya udah mau ujian nasional aja. Kayaknya baru kemarin gue seneng banget bisa diterima di sekolah ini. Ngebayangin gimana wajah polos waktu orientasi siswa. Locu banget dan rasanya masa-masa sekolah disini menyenangkan.” Irgi tersenyum sembari membayangkan masa-masa indah di sekolah ini.
“Iya, betul. Waktu itu kita ada di posisi mereka, ya.” Perempuan itu tersenyum sambil melihat ke arah beberapa siswa baru yang berlalu lalang dan mencari kelas masing-masing.
“Lo masih inget nggak sih kejadian waktu Reno datang terlambat di masa pengenalan siswa trus dia disuruh bersihin halaman sekolah. Nggak lama, kakak kelas kita yang namanya Kak Hera, lo tau kan?” tanya perempuan tersebut mulai antusias bercerita.
“Ah, iya! gue inget Kak Hera.” Irgi tersenyum sambil mengingat kejadian yang diceritakan.
“Kak Hera ternyata naksir Reno dari awal masuk. Eh dibantuin dong bersihin halaman. Nggak lama, dia nembak Reno tapi ditolak. Gue masih bayangin ekspresi mereka sih. Kak Hera dan Reno sama-sama canggung.” perempuan itu tertawa kecil.
“Gue masih nggak percaya sih, ternyata Reno pertama kali ditembak cewek dan belum pernah pacaran.” ucap Irgi.
“Sama. Wajahnya yang ngeselin, usil dan tampang berandal gitu soalnya. Nggak nyangka malah jadi sahabat kita.” ujar perempuan yang duduk disamping laki-laki bernama Irgi itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup bibirnya dengan tangan.
“Seriusan woy, gue belum pernah pacaran!” seru laki-laki yang tiba-tiba menghampiri mereka yang sedang bercerita.
“Masa belum pernah pacaran, tapi modusan. Bohong, ah!” seru perempuan itu menimpali ke arah laki-laki yang mulai menghampiri. Ia adalah laki-laki yang bernama Reno.
“Siapa? siapa yang gue modusin?”tanya laki-laki yang baru saja datang menghampiri itu. Ia segera duduk di samping perempuan yang sedang berbicara dengan sosok laki-laki yang disapa Irgi.
“Siapa ya ? sebentar, ada banyak. Gue sebutin nih.” Perempuan itu sejenak berpikir sambil tersenyum.
“Stop ! wah, parah lo, Nay! kalo didenger siswa baru, bisa jomblo sampai lulus gue.”
Laki-laki yang bernama Reno itu terlihat panik sambil menghentikan ucapan perempuan yang disapa dengan sebutan Nay tersebut.
Aku terdiam sejenak.
Aku keluar kelas sebentar untuk pergi ke toilet dan berjalan diantara mereka yang tengah berbicara karena untuk menuju toilet, aku harus melewati tempat dimana mereka sedang mengobrol.
“Permisi.” Ucapku ketika melewati mereka.
“Iya. Silahkan.” Ucap perempuan itu dengan ramah.
Aku melewati mereka yang tengah mengobrol dan beberapa menit setelah dari toilet, aku kembali menuju kelasku. Aku tidak memperhatikan lagi apakah perempuan dan kedua laki-laki yang bernama Reno dan Irgi itu memperhatikanku atau tidak.
Setibanya di kelas, aku segera duduk di bangku urutan ketiga yang sebelumnya aku duduki dengan tas milikku yang telah berada di kursi. Beberapa menit kemudian seorang perempuan datang dan menyapaku.
“Pagi...” sapa perempuan berambut pendek itu.
“Pagi juga.” ucapku tersenyum.
“Nama gue, Riva.” perempuan itu menjabat tanganku.
“Nama gue, Awan.” aku membalas jabat tangannya.
“Gue boleh duduk disini?” tanya perempuan bernama Riva kepadaku sambil menunjuk kursi disampingku.
“Boleh. Duduk aja.” jawabku ramah, lalu mempersilahkan Riva untuk duduk sebagai teman sebangku karena kursi disampingku memang masih kosong.
“Lo dari SMP mana ?” tanya Riva padaku.
“Gue dari SMP Cinta Kasih 1.” jawabku.
“Oh, gue tahu. Itu SMP kakak gue dulu. Sekarang kakak gue juga sekolah disini. Salam kenal ya, Awan. Semoga kita bisa berteman baik.” perempuan berambut pendek itu tersenyum padaku.
“Kakak lo kelas berapa di sekolah ini ?”tanyaku.
“Kakak gue namanya Naya. Dia anak kelas dua belas IPA A.” jawab Riva.
“Naya ?” tanyaku sambil berpikir sejenak.
“Iya, Naya. Kenal ?” tanya Riva.
“Kakak kelas gue pas di SMP ya ?” tanyaku pada Riva sambil kembali berpikir.
Entahlah apa karena aku sangat giat belajar dan ambisius untuk meraih impianku masuk ke sekolah unggulan favorit di jenjang SMA akhirnya membuatku jarang bergaul dengan banyak siswa sehingga aku tidak mengenal kakak kelas yang disebutkan namanya oleh Riva. Bahkan, seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampiriku dan mengucapkan selamat kepadaku seusai acara kelulusanku di SMP pun aku tidak mengenalnya, padahal ia sebaya denganku. Mungkin juga karena mereka yang kurang terkenal ? tanyaku dalam hati.
“Gimana? kenal?” tanya Riva lagi membuyarkanku berpikir.
“Nggak.” jawabku menggeleng.
“Kayaknya gue yang dulu nggak terkenal deh di sekolah, jadi gue nggak kenal kakak lo.” ucapku lagi sambil nyengir.
“Nggak apa-apa, wan. Kakak gue juga anak baru kok di kelas dua SMP dan dia dulu masih pendiam banget. Kayaknya pas disini baru deh dia terkenal dan punya banyak teman. Maklum, tahap menuju dewasa. Udah puber.” ucap Riva tertawa kecil.
“Oh, jadi kakak lo sekarang disini juga sekolahnya ?” tanyaku.
“Iya. Tadi dia ada luar. Di kursi yang ada di koridor luar kelas kita.” Riva menoleh ke arah jendela luar kelas untuk melihat di area kursi koridor luar kelas dimana tempat kakaknya berada, namun kakaknya sudah tidak berada di tempat tersebut.