Beberapa minggu yang lalu. Sebelum tragedi pembalasan dendam dimulai.
Dalam temaramnya cahaya lampu kamar, aku membuka kembali sebuah buku. Buku kecil yang sudah ratusan kali kubaca, entah saat masih berupa kepingan kata dalam pikiran, hingga kini sudah berbentuk dalam sebuah cetakan.
Aku mencoba meraba lembar demi lembar. Kupejamkan mata. Catatan ini hanya sebuah buku kecil selayaknya buku lain. Hurufnya tidak timbul. Cetakannya datar. Sejatinya tidak akan terbaca dengan cara meraba sambil memejamkan mata. Tapi entah mengapa aku merasa tahu letak setiap kata-katanya.
Tanganku masih saja gemetar. Sama seperti saat pertama kali menuliskannya. Kata demi kata yang kutulis mengingatku akan kejadian masa lalu. Ingatanku berjalan mundur, berproses menemukan sekeping kenangan. Rasa sakit, kemarahan, serta emosi tak tertahankan. Semua itu membutuhkan pelampiasan.
“Ah,” desisku perlahan. Kurasakan kembali sensasi itu. Kelegaan luar biasa setelah membalaskan dendam. Saat dimana label seorang pembunuh telah resmi tersemat. Meski tidak ada orang yang tahu hingga kini.
Kuputuskan membuka mata. Untuk terakhir kalinya aku memeriksa, meskipun aku yakin hafal setiap katanya. Aku tidak ingin ada kesalahan di dalamnya. Buku kecil ini akan jadi pembuktian, apakah Tuhan akan menahanku melakukan pembunuhan berikutnya.