Selasa, 3 September
“Halo, dengan Bapak Darmono? Perkenalkan saya Yudha dari Citra Finance, mohon maaf mengganggu waktu Bapak sebentar. Betul Bapak mengajukan pinjaman dana?”
Proses tanya jawab dimulai. Kegiatan yang sudah menjadi rutinitas selama lebih dari empat tahun terakhir. Pekerjaannya sebagai analis sekaligus verifikator pengajuan kredit memang mengharuskannya tidak bisa jauh-jauh dari gagang telepon. Setiap hari dalam enam hari kerja, dari pagi hingga sore kecuali hari Sabtu yang hanya setengah hari kerja, map-map berisi formulir permohonan peminjaman dana atau pembelian kendaraan secara kredit harus selesai dia analisa.
Memeriksa data tertulis, memeriksa sejarah kredit calon nasabah, membuat pertanyaan jebakan, mengkonfrontir pernyataan calon nasabah dengan hasil analisa surveyor merupakan beberapa pola yang digunakan dalam melakukan analisa. Dari analisa tersebut munculan rekomendasi atas kredit yang diajukan, apakah diterima ataukah ditolak.
“Rumah atas nama orang tua, kendaraan atas nama orang lain, usaha berjalan belum terlalu lama, belum pernah kredit apapun, limit permohonan pinjaman mendekati harga kendaraan di pasaran, hasil verifikasi telepon meragukan. Tolak!” Yudha memberi pengumuman dari bilik ruang kerjanya.
“Kok ditolak, Bos? Kan orang tuanya mau jadi penjamin,” surveyor yang mengajukan calon nasabah tersebut berseru memprotes. “Dia asli penduduk sekitar. Kalau ada apa-apa pasti orang tuanya akan membantu.”
“Membantu apa? Hanya sekedar membantu mengulur-ulur waktu atau ikut membantu membayarkan angsuran? Memangnya dari usaha orang tuanya itu bisa dapat uang nganggur tiga juta dalam sebulan?”
Surveyor terdiam. Sebagai orang yang berkunjung ke rumah calon nasabah, ada firasat serupa seperti yang diutarakan Sang Analis Kredit. Sekilas pemohon kredit yang ia ajukan ini meragukan. Usaha yang dijalankan calon nasabah belum teruji, membuatnya berpotensi mengalami gagal bayar di masa mendatang. Meskipun orang tua calon nasabah bersedia menjadi penjamin, namun secara ekonomi penghasilan mereka juga meragukan untuk dapat membantu membayar angsuran sebesar tiga juta setiap bulannya. Tapi mau bagaimana lagi, mereka menjanjikan uang terima kasih jika kreditnya disetujui, sayang jika kesempatan itu hangus.
“Paling tidak jika nanti angsurannya macet, orang tuanya bisa membantu membujuk si nasabah untuk mengembalikan kendaraan,” Surveyor mencoba mendebat.
“Mana ada sejarahnya seperti itu. Kamu ini macam baru dua hari saja kerja di leasing. Kalau pas pengajuan kredit memang janjinya seperti itu, tapi nanti kalau benar-benar macet, mana mau dia membantu kita. Bisa jadi malah dia pasang badan untuk anaknya.”
Surveyor mati kutu, bingung harus berargumentasi apa lagi.
“Kalau masih ngotot, silahkan minta Farid untuk menganalisa ulang, kalau perlu ajak dia survei ulang ke tempat calon nasabah.”
Orang yang disebut namanya menoleh. Memperlihatkan gestur ketidaksetujuannya, seakan-akan bilang ‘Kau tidak lihat kalau pekerjaanku juga banyak!’.
“Sudahlah, lebih baik cari calon nasabah lain. Cari penyakit saja kalau mau mempertahankan calon debitur seperti ini,” Yudha menutup perdebatan dengan surveyor.
Merasa tidak memiliki harapan, surveyor akhirnya mengambil kembali map berisi berkas permohonan kredit tersebut. Beberapa data penting ia gandakan sebagai arsip kantor, sementara data aslinya akan dikembalikan kepada si pemohon kredit.
Sebagai seorang analis kredit, Yudha paham dirinya tidak akan disenangi oleh rekan-rekan sekantor, terutama oleh mereka yang bekerja di divisi marketing. Berusaha menyatukan analis dengan marketing merupakan sebuah kemustahilan, paling tidak dalam kacamata Yudha.
Keduanya memiliki orientasi hasil yang berbeda. Marketing berkepentingan menghasilkan omset sebesar-besarnya, sementara analis mengutamakan kualitas omset dibandingkan kuantitas.
Justru analis yang terlampau akrab dengan marketing akan berbahaya bagi keberlanjutan bisnis perusahaan. Pengalaman sebelumnya telah membuatnya sadar untuk membuat jarak dengan divisi yang lain. Idealnya memang jarak itu hanya terjadi saat jam kerja atau saat sedang bekerja, sementara di luar itu bebas. Mereka menyebutnya profesionalitas. Tapi siapa yang bisa menjamin jika subjektivitas penilaian diluar kantor tidak terbawa saat membuat keputusan terkait pekerjaan?
Terkait hal ini, Yudha belajar sendiri dari pengalaman pahitnya saat awal bergabung dalam industri jasa pembiayaan.
*
Yudha menyelesaikan pendidikan sarjananya dijurusan sejarah. Untuk pemuda semuruan Yudha dijamannya, jurusan ini bukanlah jurusan yang bergengsi. Tidak sebergengsi teknik, kesehatan, atau ekonomi dan hukum untuk siswa yang berasal dari kluster ilmu sosial. Muaranya tentu kemudahan dalam memperoleh pekerjaan. Pengetahuan dan skill yang diperoleh dari jurusan-jurusan tersebut lebih dibutuhkan saat memasuki dunia kerja.