Jelly coffe....Armora Party store, Paris shoes&bag.
Keyra Felizka, gadis tujuh belas tahun itu membaca dalam hati papan nama yang dilewati mobilnya. Sudah lima belas menit yang lalu ia duduk di jok belakang dengan pandangan tertuju keluar jendela memandangi lampu-lampu toko yang berkerlap-kerlip penuh warna berlomba semenarik mungkin menghiasi malam. Sesekali Keyra juga menghitung kendaraan yang mendahului mobilnya. Tidak ada kerjaan, mungkin istilah itu cocok dengan yang dirasakan Keyra sekarang. Perasaan sebal karena dipaksa ikut masih betah mendera hatinya.
Sore tadi, ketika ia sedang asik menonton tutorial membuat pouch di YouTube, ayahnya mengganggu dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Alhasil, di sinilah Keyra berada sekarang; duduk malas dalam mobil yang dikendarai ayahnya. Padahal jam-jam seperti ini adalah waktunya membaca novel kesukaan. Selama lima belas menit biasanya Keyra sudah menghabiskan dua bab.
Keyra menghembuskan napas kasar. Mobil berhenti karena lampu merah. Entah harus berapa lama lagi ia akan terkurung di dalam mobil. Ayahnya bilang mereka akan menemui teman lamanya yang baru kembali dari Granada. Granada? Akhir-akhir ini ia sering sekali mendengar nama itu. Seingatnya, murid baru di kelasnya juga pindahan dari Granada.
"Bagaiman rencana perjalanan sekolahmu ke Bandung nanti? Kamu jadi ikut?"
Suara perempuan menyergap di antara lamunan Keyra. Seorang perempuan yang sudah menyandang status sebagai istri ayahnya; ibu tiri, ibu sambung, begitu orang-orang menyebutnya. Ibu? Keyra berdecak sinis setiap kali ia harus memanggil perempuan asing dengan sebutan seakrab itu. Baginya, tidak ada sosok perempuan mana pun yang bisa menggantikan ibunya meski sang ayah begitu cepat mengisi kekosongan hatinya setelah enam bulan ditinggal dalam keabadian oleh istrinya.
"Tidak," ketus Keyra.
"Kenapa tidak?" Ayahnya yang bertanya. Mobil kembali melaju.
"Tidak mau saja."
"Keyra!"
Keyra memejamkan mata sebelum pandangannya kembali ke jalanan. Bentakan ayahnya sekonyong-konyong membuat Keyra ingin menangis.
"Kalau kamu tidak mau ikut, Ibu bisa datang ke sekolah untuk memberitahu wali kelasmu."
"Tidak perlu, aku akan pergi."
Hening. Tak ada yang bicara lagi hingga mobil berhenti di sebuah kawasan perumahan elit. Keyra tidak terkejut mengingat orang yang akan mereka temui adalah mantan penjabat pemerintah. Rumahnya mungkin seluas rumah konglomerat yang sering Keyra lihat di serial televisi dengan halaman luas beserta air mancur yang tak kalah besar dari yang ada di alun-alun kota.
"Kita sudah sampai, jaga sikapmu!"
Tentu saja, kalimat bernada perintah itu di tujukan Hans untuk Keyra. Harus seberapa hebat lagi ia berpura-pura? Sudah sepuluh bulan terakhir ini hidupnya penuh sandiwara. Walaupun Keyra sendiri tidak tahu peran apa yang sedang ia mainkan.
Keyra turun dari mobil dan merapikan pakaiannya. Benar saja, rumah ini benar-benar besar dan megah dengan tiang marmer yang menjulang berwarna emas. Tak lama pemiliknya menyambut mereka dengan hangat. Seorang pria berkaca mata yang sangat berwibawa bersama seorang perempuan cantik nan modis di usianya yang tidak lagi muda. Dalam diamnya, Keyra mengamati dua orang itu sementara ayahnya sibuk mengenalkan istri barunya.
"Dia Keyra?" Si perempuan modis itu menyapa. Belum sempat Keyra menjawab, dia sudah memeluknya akrab seperti sudah menunggu pertemuan ini bertahun-tahun. Pelukannya hangat khas seorang ibu. Aduh, Keyra mendadak mellow.
"Mana puteramu? Dia tidak ikut pulang?"
"Dia..oh? Itu dia."
Pandangan Keyra mengikuti telunjuk Hans dan semua orang di sana. Ia mendapati seorang pria sedang menuruni tangga dengan langkah percaya diri. Badan tinggi tegapnya dibalut sweater dan celana jeans biru. Saat mendongak, wajah pria itu mengingatkan Keyra pada...